Jumat, 23 Desember 2011

Pemahaman Leksikon Emosi BIPA


PEMAHAMAN LEKSIKON EMOSI
DALAM PEMBELAJARAN BIPA
Oleh: Rusdhianti Wuryaningrum
Diseminarkan dalam Seminar Nasional “Revitalisasi Bahasa Indonesia” 30 November 2011
Univerisitas Muhammadiyah Malang
Abstrak
Leksikon emosi merupakan leksikon yang digunakan untuk megekspresikan emosi. Materi leksikon emosi dalam pembelajaran BIPA sangat diperlukan karena dapat memperluas pengetahuan tentang bahasa Indonesia. Materi tersebut juga dapat mendukung pembelajaran yang komunikatif tertutama jika diimbangi dengan materi yang autentik.
Pembelajaran leksikon emosi yang tepat akan membantu penutur memahami keberagaman leksikon emosi. Yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran leksikon emosi ialah perubahan bentuk kata (leksikon) emosi, variasi dan spesifikasi makna, dan konteks penggunaan. Pemahaman perubahan bentuk kata sangat perlu karena perubahan bentuk kata akan menentukan ketepatan penggunaan leksikon emosi, pemahaman variasi dan spesifikasi makna dilakukan dengan pengelompokan leksikon emosi karena terdapat leksikon emosi yang sinonimis. Di  sampingitu, terdapat leksikon emosi yang memiliki spesifikasi  perlu uraian lebih lanjut. Konteks penggunaan perlu dipahami karena leksikon emosi tertentu meskipun dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tidak bisa dipakai dalam semua konteks.
Mengamati masalah tersebut pembelajaran leksikon emosi memerlukan metode pembelajaran dan materi yang autentik untuk mendukung hasil belajar BIPA yang maksimal

1.      Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui, minat belajar bahasa Indonesia  penutur asing  meningkat. Bahasa Indonesia untuk penutur Asing (BIPA) mengalami perkembangan positif. Minat dan perhatian pembelajar asing terhadap bahasa Indonesia dan kajian tentang Indonesia dewasa ini telah memberikan dampak dan pengaruh pada keberadaan program pembelajaran Bahasa Indonesia untuk  Penutur Asing (BIPA). Sebagai konsekuensinya, program pembelajaran BIPA berperanan semakin penting. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika penyelenggaraaan program pembelajaran BIPA diperbaiki dengan berbagai peningkatan kualitas materi dan metode pembelajaran.
Pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing perlu mendapat perhatian kita kalau kita ingin menjadikan bahasa Indonesia  sebagai bahasa yang mempunyai tempat di mata dunia. Kita berharap semoga bahasa Indonesia kelak bisa menjadi bahasa dunia yang berdampingan dengan bahasa-bahasa dunia lainnya. Untuk mencapai tujuan yang mulia ini tentu perlu dukungan semua pihak. Suatu pekerjaan besar seperti itu tidaklah cukup dibebankan kepada pihak tertentu saja. Para peminat perlu melibatkan diri secara langsung dan bersungguh-sungguh. Pemikiran-pemikiran para pakar dan para praktisi perlu dimanfaatkan untuk menemukan strategi yang benar dan tepat dalam pembelajaran bahasa Indonesia  untuk orang asing tersebut. Pustaka-pustaka yang menguraikan tentang pembelajaran bahasa Indonesia untuk orang asing, baik berupa buku acuan maupun buku pelajaran, dan juga materi simakan belum banyak.
Di samping itu, perlu materi yang komprehensif yang dapat meluruskan pemahaman mereka terhadap bahasa Indonesia. Materi-materi tersebut harus mampu mewadahi kebutuhan mereka untuk memahami bahasa Indonesia seseuai dengan fungsi bahasa secara umum, yakni sebagai fungsi informasi, fungsi ekspresi, fungsi adaptasi, dan kontrol sosial.
Terkait dengan fungsi informasi, bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana menyampaikan informasi timbal balik antaranggota keluarga dan masyarakat; sebagai fungsi ekspresif, bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi atau tekanan-tekanan perasaan pembicara; sebagai fungsi adaptasi dan integrasi, bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana menyesuaikan dan membaurkan diri dengan anggota masyarakat; sebagai kontrol sosial, bahasa Indonesia berfungsi untuk memengaruhi sikap dan pendapat orang lain.  Santoso (2008:1.6) menyatakan Jika semua fungsi ini berlaku dengan baik maka semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik.
Terkait dengan bahasa Indonesia sebagai fungsi ekspresif, penggunaan bahasa Indonesia perlu dipahami lebih mendalam oleh pembelajar BIPA. Fungsi ekspresif bahasa atau bahasa emotif merupan komponen terpenting sebagai sambung rasa antara pembelajar bahasa kedua (pembelajar BIPA) dengan bahasa sasarannya. Jika pembelajar telah mampu mengekspresikan emosinya maka mereka akan lebih dekat secara psikis dengan bahasa Indonesia.
Pada dasarnya, memahami eksprsi emosi berkaitan dengan pengalaman. Seseorang yang mengalami emosi tersebut akan mampu mengekspresikan leksikon emosi yang tepat sesuai apa yang dialaminya dalam bentuk verba, nomina, maupun adjektiva (Wuryaningrum 2001dan 2004).
Pada pembelajaran BIPA, penutur tentu mengalami pengalaman emosi tertentu. Pengalaman emosi tersebut perlu mereka realisasikan dalam ekspresi berupa kata, frase, maupun kalimat. Itu akan membantu mereka memahami bahasa Indonesia secara komunikatif karena apa yang mereka utarakan berkaitan dengan apa yang mereka alami.
Pemahaman ekspresi emotif, dalam tataran leksikon, perlu dimuat sebagai materi karena dalam bahasa Indonesia, leksikon emosi memiliki variasi atau memiliki spesifikasi. Contohnya kata sedih memiliki spesifikasi prihatin, iba, haru, dan sebagainya yang perlu dijelaskan secara detail agar penggunaannya tepat.
Di samping itu, dalam perkembangan bahasa Indonesia terdapat kata yang salah anggap, misalnya kata acuh ternyata (dari pertanyaan langsung di lapangan yang dilakukan peneliti) dimaknai dengan kata cuek (tidak peduli). Padahal, kalau kita amati lebih lanjut kata acuh berarti peduli. Dengan demikian, kalaimat: *Karena tersinggung, dia acuh padaku adalah kalimat yang salah. Terdapat pula beberapa kata yang perlu mendapat perhatian karena selalu berikatan dengan kata tertentu. Misalnya kata senonoh selalu dilekati kata tidak, tetapi tidak pernah berdiri sendiri dalam kelaziman bahasa Indonesia. Contohnya kalimat: Dirga berbuat tidak senonoh pada Ani, yang artinya Dirga berbuat tidak sopan atau tidak pantas pada Ani. Tidak kita temui atau tidak tepat jika terdapat kalimat: *Dirga berbuat sesonoh pada Ani karena meskipun Dirga berbuat atau bersikap sopan dan pantas pada Ani, perbuatan ini tidak bisa disebut senonoh sebagai lawan kata tidak senonoh.
2.      Pembahasan
2.1  Leksikon Emosi dalam Bahasa
Mengekspresikan emosi melalui bahasa merupakan fungsi lapisan dasar bahasa. Seperti yang dinyatakan Cassirer (1990:40), bahasa pertama-tama bukanlah ekspresi pikiran atau gagasan, melainkan ekspresi perasaan-perasaan, afeksi-afeksi. Di sisi lain, dalam sebuah penelitian, Suprapti S.M. dkk (1992:97) menyatakan bahwa emosi seseorang dapat diketahui melalui ekspresi verbal dan dan verbalnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mengekspresikan emosi merupakan fungsi terpenting dalam berbahasa. Bahasa adalah sarana utama menyampaikan emosi kita. Bahkan lebih jauh dari itu, Cassirer (1990:44) menyatakan lapisan emosi merupakan lapisan dasar tuturan manusia. Jarang, kita temui kalimat tanpa warna afeksi tertentu, kecuali mungkin kalimat formal dalam matematika. Bahasa yang dikembangkan secara teoretis pun tidak pernah lepas dari lapisan ini. Leksikon emosi merupakan indikasi penting untuk menilai pengalaman emosi tertentu dari seseorang. Herre (1986) dalam Suprapti S.M.dkk (1992:97) menyatakan tanpa adanya kata-kata emosi pengalaman seseorang tidak ada artinya.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Smiley dan Huttenlocher (1986) menunjukkan dalam pendekatan lingistik, sekitar usia 20 bulan seorang anak telah mampu mengatakan kata emosi yang pertama. Kata-kata emosi yang dikuasai oleh anak berumur rata-rata dua tahun yakni senang, sedih, marah, dan takut. Kata senang merupakan kata emosi yang dominan pada kosa kata emosi anak karena keadaan ini sering dialami oleh anak-anak dalam objek penelitiannya. Usia tiga sampai empat tahun anak mulai mengenal kata sedih. Namun, pada usia empat sampai 5 tahun anak belum memahami kata bangga. Hal itu terjadi karena mereka belum mampu menggambarkan situasi apa yang dapat membuat mereka bangga dan kata bangga masih mereka identikkan dengan kata senang.
Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa leksikon emosi akan dipahami jika sudah terdapat pengalaman yang mendasarinya. Ini tentu perlu  dikontraskan untuk pembelajar BIPA. Mereka (pembelajar BIPA) sudah mengalami pengalaman emosi—usia mereka dewasa dan tentu memiliki pengalaman emosi—, namun mereka perlu belajar leksikon emosi apa yang dapat melebeli perasaan yang mereka alami.
2.2  Pemahaman Leksikon Emosi dalam Pembelajaran BIPA
Salah satu masalah dalam belajar bahasa asing adalah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari. Hal itu sering terjadi karena kurangnya pengetahuan bahasa target oleh pembelajar bahasa asing. Secara umum, dapat dikatakan bahwa semakin jauh kesenjangan itu, semakin sulit proses pembelajarannya; dan semakin dekat kesenjangan itu, semakin mudah proses pembelajarannya. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Grabe (1986) dalam Tupan (2001), bahwa problem belajar bahasa asing muncul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan linguistis dan sosiokultural dari bahasa pertama dan bahasa target. Pembelajar harus menguasai kompetensi gramatikal dan leksikal dari bahasa target jika ingin menguasai bahasa target itu. Walaupun demikian, bisa saja terjadi seorang pembelajar yang sudah memiliki kompetensi secukupnya dalam bahasa target tetapi masih menghadapi kesulitan memahami teks tertentu karena kurangnya pemahaman sosiokultur pemakai bahasa target. Oleh karena itu, pemahaman sosiokultur pemakai bahasa target sangat dibutuhkan oleh pembelajar untuk melengkapi kompetensi gramatikal dan leksikal mengenai bahasa target.
Melalui pemahaman leksikon emosi, pembelajar BIPA diharapkan mendapat pemahaman secara linguistis dan sosiokultur karena materi leksikon emosi dapat dikembangkan.
Dalam bahasa Indonesia, leksikon emosi sering diidentikkan denga kata sifat. Hal tersebut bukan sesuatu yang aneh karena leksikon emosi sebagai pernyataan ekspresi merupakan bentuk adjektiva seperti sedih, bangga, suka, cinta, rindu, dan sebagainya. bentukan kata benda selalu muncul dari perubahan kata tersebut. Ini yang merupakan unsur yang memudahkan bahasa Indonesia secara umum. Misalnya, kata sedih (sad) jika diubah menjadi kata benda menjadi kesedihan (sadness) demikian pula benci menjadi kebencian, senang menjadi kesenangan, dan sebagainya
Leksikon emosi dalam bentuk nomina tersebut bukan merupakan ekspresi langsung, contohnya jika kita menyatakan perasaan sedih akan muncul kalimat, “Saya sedih.” Sedanggkan kata kesedihan digunakan menceritakan sesuatu yang sedang tidak dialami. Ekspresi emosi dalam bentuk verba perlu dipahamkan untuk membantu menyampaikan emosi misalnya dipercaya, dipaksa, diinjak, dihina, mencintai, mengasihi, merindukani dan sebagainya.
Dalam pembelajaran BIPA, terkait dengan leksikon emosi, materi awal tidak berbicara tentang keterampilan, tetapi pemahaman leksikon emosi dan penggunaannya. Beberapa hal yang perlu dipahamkan ialah perubahan bentuk kata, keluasan makna kata, dan konteks penggunaannya.
2.2.1        Perubahan Bentuk Kata (Leksikon) Emosi
Masalah perubahan bentuk kata atau morfologis merupakan masalah yang kompleks dalam bahasa Indonesia. Perubahan bentuk  kata senantiasa tidak tetap tidak seperti bahasa berfleksi, misalnya bahasa Latin, Belanda, atau bahasa Inggris. Konstruksi genetif bahasa Indonesia lebih mementingkan urutan kata daripada perubahan bentu kata (Chaer, 1994:216). Perubahan bentuk kata dalam bahasa Indoenesia memiliki aturan atau kaidah yang konsisten, tetapi penutur asing tentu harus memahami bahwa konsistensi tersebut perlu pula diikuti pemahaman tentang kelaziman sebuah bentuk kata. Contohnya, kata menyapu, mengepel merupakan bentu kata yang tepat, tetapi kita harus menggunakan awalan meng- (meN)- kan untuk kata bersih hingga muncul kata membersihkan bukan *membersih.
Demikian pula perubahan awalan ter-. Dalam bahasa Indonesia ter- tidak senantiasa mengacu pada adjektiva (tercinta, tersayang) dapat pula mengacu pada verba (terkena, tertancap, tertanam), bahkan dapat pula mengacu pada kata benda (tertuduh, terdakwa).
Perlu diperhatikan pula bahwa pemahaman makna dan perubahan kata tidak cukup dalam pembelajaran leksikon emosi. Pembelajar perlu memahami bagaimana kelazimannya dalam konteks kalimat. Contohnya kata tercinta yang berarti ‘paling dicintai’ tersayang ‘paling disayangi’. Awalan ter- pada kata dan kalimat tersebut tepat. Karena cinta dan sayang merupakan bentuk adjektiva. Kita juga bisa membentuk kata tercinta, terlezat, terbaik dan sebagainya, tetapi kita tidak bisa membentuk kata tersuka dalam semua konteks. Hal ini tampaknya perlu dijelaskan karena berdasarkan pengalaman penulis saat mengajarkan BIPA, terdapat mahasiswa yang menyatakan kalimat, *Sate makanan Indonesia tersuka saya. Tampaknya, kerumitan makna dan konteks perubahan bentuk kata dalam bahasa Indonesia perlu diperhatikan dalam memberikan materi leksikon emosi. Di samping itu, kelaziman penggunaan bentuk kata dalam bahasa Indonesia perlu dicontohkan. Memahamkan kata, konteks, dan kelaziman bentuk kata tidak mudah.
Masalah kesenjangan bahasa pembelajar dengan bahasa Indonesiaperlu diperhatikan, misalnya kalimat pembelajar *Saya rindu ibu saya banyak, merupakan terjemahan langsung dari ‘I miss my mother very much’. Dari contoh tersebut kita dapat menjadikan pemahaman leksikon emosi sebagai sarana memperbaiki kalimat pembelajar.
Di samping itu, variasi leksikon emosi dalam bahasa Indonesia perlu diamati. Pengelompokan kata emosi tampaknya merupakan solusi yang  memudahkan pengajar BIPA untuk meluruskan makna variasi kata emosi, misalnya kelompok kata malu, misalnya, terdiri dari kata malu, sungkan, kikuk, kaku risi, jengah; kelompok kata bosan yaitu kata bosan, jenuh, jemu. Pengelompokan kata tersebut ada yang perlu penjelasan karena berbeda maknanya (meskipun sedikit) dan tidak perlu penjelasan karena maknanya sama (bersinonim). Variasi dan spesifikasi leksikon emosi perlu dimasukkan dalam materi BIPA sebagai sarana untuk pembelajaran menggunakan kata dengan makna yang tepat.
2.2.2        Variasi dan Spesifikasi Makna
Leksikon emosi merupakan leksikon yang digunakan untuk mengekspresikan emosi. Batasannya tidak hanya pada adjektiva, tetapi juga pada nomina dan verba. Seperti yang diuraikan di atas, leksikon emosi memiliki spesifikasi dan variasi. Disebut variasi apabila merupakan sinonimi dan bisa saling menggantikan dan disebut spesifikasi apabila leksikon tersebut merupakan istilah khusus yang berbeda makna dari kata yang mengepalainya. Misalnya kata muak  dalam konteks bahasa Indonesia memiliki sinonim eneg dan spesifikasi jijik, mual.   Kata tersebut perlu dijelaskan gambarannya dengan konteks yang sesuai. Kata sedih memliki variasi susah dan spesifikasi iba, prihatin, pilu, sendu, duka, pedih dan sebagainya.
Pada awalnya, pembelajar perlu diarahkan pada leksikon emosi dasar yang sering mereka alami  yaitu kegembiraan, kesedihan, cinta, kebencian, kekaguman, keinginan. Enam emosi dasar tersebut menurut Ekman dan Friesen dalam Fauzi (1997: 14) disebut sebagai innate emotional.

2.2.3        Konteks Penggunaan
Secara umum, konteks penggunaan berkaitan dengan pengetahuan pembelajar atas bahasa sasaran dan sejumlah perbedaan dengan bahasanya. Dalam bahasa Inggris kata love bisa secara fleksibel digunakan menyatakan rasa suka terhada makanan, pakaian, atau benda lain. Dalam bahasa Indonesia, kata love  yang diartikan cinta hanya bisa digunkan untuk mengekspresikan perasaan kasih sayang (affection) pada manusia atau sesuatu yang dianggap seperti manusia. Perlu dibatasi pula kata cinta tidak digunakan untuk menyatakan persaan yang berhubungan dengan kasih sayang pada semua orang, misalnya pada anak teman kita yang baru kita kenal. Di lain kasus, meskipun orang lain, jika perasaan kita sudah mendalam, mengenalnya dengan baik, seperti saudara atau bagian hidup kita barulah kita bisa mengatakan cinta. Dengan demikian konteks pada leksikon emosi juga membutuhkan pemahaman pentarafan kata tersebut.
Secara pragmatis kesesuaian kata dengan konteks kadang juga bisa dilanggar untuk menegaskan makna, misalnya, karena kecintaannya pada nasi goreng, sesorang mengatakan *Saya cinta banget sama nasi goreng, dalam bahasa Inggris ekspresi yang sama, ‘I love fried rice very much’ tidak dianggap sebagai pelanggaran.
Dalam pembelajaran leksikon emosi untuk pembelajar BIPA, pentarafan kata perlu diperhatikan seperti contoh di atas kata cinta dalam konteks bahasa Indonesia berkaitan dengan kasih sayang (affection) bukan berkaitan dengan kecenderungan perasaan terhadap sesuatu kecuali untuk hobi atau kegemaran yang berhubungan dengan aktivitas, misalnya kalimat Yulia mencintai musik jaz sejak anak-anak.
Dari uraian di atas dapat diketahui kata love ‘cinta’ dalam bahasa Indonesia tidak sefleksibel kata love ‘cinta’ dalam bahasa Inggris. Pengajar dapat mengenalkan kata suka, gemar, sayang, mengasihi, dan sebagainya karena leksikon emosi bahasa Indonesia pun cukup memenuhi banyak konteks.
Kenyataannya, justru menyulitkan pembelajar karena penutur bahasa Indonesia kadang menggunkan nomina sebagai adjektiva. Contohnya, kata hobi yang merupakan nomina digunakan sebagai adjektiva: * Dani hobi sekali main badminton. Kalimat ini seharusnya diperbaiki menjadi Hobi Doni (ber)main badminton atau Dani suka sekali main badminton. Tampaknya, ketidakdisiplinan penutur bahasa Indonesia di sekitar pembelajar BIPA merupakan hambatan yang cukup berarti.
2.3  Metode Pembelajaran Leksikon Emosi dalam BIPA
Metode pembelajaran leksikon emosi dapat dilakukan dengan bervariasi. Akan lebih baik  jika dilakukan sesuai relaita (konteks) yang dialami pembelajar. Beberapa metode yang bisa diterapkan antara lain menceritakan pengalaman pribadi yang terkait dengan perasaan tertentu, menanggapi cerita, melengkapi kalimat rumpang (cloze procedure) yang membutuhkan leksikon emosi, menyusun dialog dari sebuah kasus.
Metode pertama menceritakan pengalaman pribadi dapat diterapkan pada kelas BIPA tingkat madya. Pada kegiatan dengan metode ini, pengajar menanyakan peristiwa menyenangkan atau menyedihkan  apa yang pernah dialami di Indonesia, kemudian meminta mereka bercerita dan meminta teman lain menanggapi.
Metode kedua dilakukan dengan menyimak cerita dapat pula membaca cerita atau menonton film atau pementasan drama kemudian dilanjutkan dengan mengisi kalimat Saya merasa… terhadap kisah yang dialami tokoh A. Kemudian dilanjutkan dengan berdiskusi dan berbagi pengalaman emosi yang seperti dialami tokoh utama dalam materi pembelajaran tersebut.
Metode ketiga dilakukan dengan mengisi kalimat rumpang pada kalimat tertentu. Kalimat yang dikosongkan dimulai dari  kalimat kedua. Contohnya,
Hari ini seperti biasa, aku menunggu Cindy. Aku…karena sudah dua jam aku menunggu untuk bersama-sama pergi ke kampus. Kuliahku pun sudah terlambat, mungkin kuliah sudah selesai. Aku melihat dia dan memanggilnya. Tetapi, dia tidak mau melihatku. Setelah kudekati, aku ….  Ternyata, dia bukan Cindy. Aku…. sekali.
Dengan metode tersebut, pembelajar akan memahami bahasa Indonesia akan memahami konteks penggunaan leksikon emosi.
Metode keempat  dilakukan dengan menyusun dialog dari sebuah kasus. Terdapat kasus dalam bentuk cerita kemudian pembelajar menyusun dialognya. Contoh:
Susunlah dialog dari cerita berikut, Shinta sudah satu tahun berpisah dengan kedua orang tuanya dan hari ini dia akan bertemu orang tuanya karena orang tuanya akan datang ke Indonesia. Mereka akan bertemu hari ini di Bandara Juanda. Susunlah percakapan antara ayah dan ibu Shinta dengan Shinta. Kemudian, uraikan perasaan shinta dalam percakapan tersebut.
Dalam pembelajaran BIPA bahan autentik sangat diperlukan terutama untuk pembelajaran leksikon emosi.  Bahan autentik ialah eksposur atau pajanan dari bahasa dalam kehidupan nyata dalam komunikasi yang sebenarnya. Atau dengan kalata lain, bahasa dalam pembelajaran autentik ialah ‘paparan bahasa nyata dan penggunaannya dalam masyarakat’. Rogers (1998:467) dalam Kilickaya (2004) mendefinisikan materi autentik  sebagai bentuk ‘ketepatan’ dan ‘materi berkualitas’ yang dapat mencapai tujuan kerena bersifat objektif. Dengan demikian, pembelajar akan tertarik karena mereka berada pada situasi yang asli (nyata) dalam komunikasi yang bermakna (bukan buatan). Di sisi lain, Harmer (1991) menambahkan bahwa teks yang mencerminkan keautentikan dalam pembelajaran bahasa akan mengefektifkan pembelajaran karena teks tersebut tidak dirancang bukan untuk pembelajar bahasa tetapi untuk penutur bahasa. Melalui materi yang autentik, mereka akan belajar secara komunikatif untuk memahami beragam hal yang mereka butuhkan dalam kehidupan sehari-hari secara lisan maupun tulisan. Bahkan, Guariento dan Morley (2001:374) menyatakan materi autentik dapat meningkatkan motivasi karena bahasa nyata membuat mereka belajar bahasa secara alami bukan belajar teori bahasa yang membosankan. Lebih lanjut dijelaskan pula manfaat belajar melalui materi autentik seperti dikutip dari pendapat Philips dan Shettlesworth 1978; Clarke 1989; Peacock, 1997 dalam Richards, 2001, yaitu:
(1)   Siswa lebih termotivasi,
(2)   Siswa medapat informasi budaya yang lebih nyata,
(3)   Siswa memeroleh pajanan bahasa nyata,
(4)   Pengajar lebih memahami kebutuhan peserta didik. Hal tersebut terkait dengan kompetensi linguistik dan pragmatik yang perlu mereka pelajari lebih lanjut,
(5)   Mendukung pendekatan komunikatif dan kreatif dalam pembelajaran
3.      Penutup
Pembelajaran leksikon emosi adalah materi yang cukup menarik dala pembelajaran BIPA. Melalui pembelajaran leksikon emosi, pembelajar akan memahami khasanah leksikon emosi dalam bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai informasi atau sebagai sarana ekspresif dalam berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Pemahaman leksikon emosi akan membuat pembelajar tidak  jenuh karena mereka pun dapat menceritakan pengalaman, keadaan diri dan perasaannya terhadap sesuatu. Langkah ini merupakan langkah yang membutuhkan autentisitas karena sangat kontekstual. Dengan mempelajari leksikon emosi, pembelajar akan memperbaiki ekspresi dan tata bahasa yang mereka gunakan. Di samping itu, aspek sosiokultural dapat dipahami bersamaan saat pembelajar bahasa Indonesia mempelajari dalam materi tersebut.
Daftar Pustaka
Cassirer, Ernst. 1990. Mnusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia
Fauzi, Ahmad. 1997. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia
Guariento, W. & Morley, J. 2001. “Teks dan keaslian tugas di kelas EFL”. Jurnal ELT 55(4), 347-353.
Kilickaya. Ferit. 2004. “Bahan Autentik dan Konten Budaya di Kelas EFL”. http://www.metu.edu.tr/~kilickay http://www.metu.edu.tr/ ~ kilickay
Middle East Technical University (Ankara, Turkey) Universitas Teknik Timur Tengah (Ankara, Turki)
Richard, Jack C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press
Suprapti S.M. dkk. 1992. “Leksikon dan Taksonomi Emosi” dalam PELLBA 5. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya
Santoso, Puji dkk. 2008. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: UT
Tupan, Anneke Heritaningsih. 2001. “Pengembangan Bahan Ajar BIPA melalui Materi Otentik yang Bermuatan Budaya Indonesia”. Tupan-tupan@peter.petra.ac.id. BIPA FS-UK Petra
Wuryaningrum, Rusdhianti. 2001. “Tuturan Emotif dalam Artikel Psikologi Mingguan Kompas 1998”. Skripsi. Unesa
Wuryaningrum, Rusdhianti. 2004. Ekspresi Emotif dalam Dialek Osing: Analisis Genderlek. Tesis. Unesa













Curriculum Vitae
Penulis bernama Rusdhianti Wuryaningrum, lahir di Banyuwangi, 6 Mei 1978. S1 diselesaikan di Universitas Negeri Surabaya lulus tahun 2001. Dengan beasiswa dari BPPS dari Dikti (penulis mengajar di IKIP Widyadarma Surabaya waktu itu),  penulis melanjutkan S2 di Universitas Negeri Surabaya tahun 2001 dan menyelesaikan studinya tahun 2004. Tahun 2004, penulis menjadi staf pengajar di Universitas Jember (PNS) di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni, Universitas Jember.
Bidang keilmuan penulis pembelajaran bahasa Indonesia. Mata kuliah yang diampu ialah Media Pembelajaran Bahasa, Linguistik, PBIPA, dan Telaah dan Pengembangan Kurikulum Bahasa Indonesia. Saat ini penulis juga aktif mengajar di UPT bahasa Unej, sebagai pengajar BIPA untuk  mahasiswa karyasiswa dari beberapa negara.
Karya ilmiah yang dihasilkan penulis terakhir adalah makalah “Inovasi Pembelajaran Bahasa Indonesia” yang diseminarkan dalam MGMP  bahasa Indonesia di Banyuwangi, makalah prosiding Seminar Nasional Chairil Anwar di Unej, penelitian pembelajaran bahasa Indonesia untuk SD  berjudul “Eksplorasi Tuturan Imajinatif untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Siswa SD” yang didanai DIA BERMUTU Ditnaga Dikti, dan beberpa artikel ilmiah di beberapa jurnal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar