Jumat, 23 Desember 2011

Deskripsi Leksikal Ekspresi Emotif Dialek Osing


DESKRIPSI LEKSIKAL EKSPRESI EMOTIF BERDIALEK OSING
 (SEBUAH KAJIAN TENTANG PERBEDAAN TUTURAN WANITA DAN PRIA)
Oleh: Rusdhianti Wuryaningrum, S.Pd., M.Pd.
Abstrak
Osing merupakan salah satu dialek dalam bahasa Jawa. Kajian tentang Osing, atau kajian tentang dialek yang lain, selayaknya tidak hanya memberikan informasi sistem linguistik, tetapi juga informasi tentang kultur sosialnya. Salah satu tujuan penelitian ini ialah mendeskripsikan tataran linguistik yang dalam hal ini akan dibahas salah satunya yaitu deskripsi leksikalnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif . Pengambilan data dilakukan dengan observasi partisipasi dan nonpartisipasi. Informan  penelitian ditentukan berdasarkan kriteria Samarin (1988:55). Untuk penelitian ini digunakan responden masyarakat asli penutur dialek Osing yakni Kemiren, Grogol, Rogojampi, dan Penataban.  Ekspresi emotif dalam penelitian ini diamati berdasarkan pada enam emosi dasar yaitu kebencian, kesedihan, cinta, kegembiraan, kekaguman, dan keinginan. Perbedaan tuturan emotif yang muncul antara penutur pria (selanjutnya disingkat PP) dan penutur wanita (selanjutnya disingkat PW) pada tataran leksikal dilatarbelakangi oleh pemahawan, pengalaman, serta kebiasaan mereka dalam menggunakan ekspresi tersebut.
Abstract
The Osing dialect is one of the Javanese dialects. The study of  Osing, or any study of dialect, must give information not only about its dialect, but also its social-cultural background. One of the purpose of this research is discribe linguistis stratum and in this case will describe specially on lexical substratum. This research is qualitative in nature involving both participant and nonparticipant  techniques for collecting the data. The informants were selected based on  Samarin’s criteria (1988:55). They are native speakers of Osing  from village Kemiren, Grogol, Rogojampi, and Penataban.  There are six emotive expression in this research: dislike, sorrow, love, gladness, admiration, and desire. Difference of emotive expression between man (PP) and woman (PW), on lexical stratum, surrounded by understanding, experience, and habit in using expression.
I.                   Pendahuluan
Penelitian ini diawali oleh pengamatan budaya Osing. Osing sebagai bahasa dan budaya telah banyak diteliti. Budaya dan bahasa suatu masyarakat dapat diamati dari cara bertutur dan unsur yang melatarbelakangi munculnya tuturan tersebut. Cassirer (1990) menyatakan untuk mengamati budaya dan bahasa, kita tidak bisa lepas dari ekspresi emotif yang dituturkan oleh masyarakat tersebut. Ekspresi emotif tersebut harus terkait dengan emosi dasar manusia.
Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan bagaimana ekspresi emotif dalam dialek Osing yang dikaitkan dengan aspek genderlek untuk mengetahui bagaimana tuturan emotif wanita dan pria dalam dialek Osing. Asumsi yang muncul bahwa tuturan wanita dan pria berbeda atau sama diabaikan. Penelitian ini hanya ingin mendeskripsikan bagaimana suatu ekspresi emotif muncul dan apa yang melatarbelakanginya.
A.    Ekspresi Emotif
            Ekspresi emotif mengacu pada tuturan langsung dalam peristiwa kebahasaan nyata. Ekspresi tersebut muncul secara spontan dalam komunikasi. Dengan demikian, data yang digunakan sebagai ekspresi emotif merupakan data riil. Ekspresi emotif berkaitan dengan fungsi bahasa secara ekspresif dan personal. Hal itu sangat dibutuhkan oleh penyimak yang ingin memahami kultur Osing. Oleh sebab itu, penelitian tentang ekspresi emotih berdialek Osing diharapkan memberikan sumbangan yang cukup untuk pemahaman cara bertutur masyarakat Osing.
Emosi merupakan suatu keadaan perasaan yang dialami seseorang pada suasana atau keadaan tertentu dan dapat diketahui keberadaannnya melalui ekspresi verbal dan nonverbal (Suprapti dkk., 1992:97). Jakcobson dalam Al Wasilah (1985:27) menyebut ekspresi emotif dengan emotif speech, atau pathic speech. Keadaan emosi yang meningkat akan membuat seseorang mempresentasikan emosinya baik dalam ujaran, mimik, maupun perubahan fisik lainnya. Dijelaskan oleh Fauzi (1997:54) bahwa emosi atau afeksi merupakan lapisan dasar yang tidak bias lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Demikian pula dijelaskan oleh Sudaryanto (1989:52) ekspresi emotif yang dinyatakannya sebagai ekspresi afektif atau efeksi merupakan hal mendasar dalam bahasa yang berkaiatan dengan fungsi ekspresif dan personal.  
Cassirer (1990:44) menyatakan pada dasarnya bahasa manusia adalah bahasa emotif. Lapisan dasar tuturan manusia selalu diwarnai aspek emosi. Manusia selalu berusaha agar setiap tuturannya mampu mewakili emosi yang terdapat dalam dirinya. Uraian tersebut menunjukkan bahwa kajian bahasa dan emosi yang terujud dalam ekspresi emotif tidak bisa diabaikan. Seperti telah ditegaskan Pateda (1990:30) bahwa gejolak jiwa yang dialami seseorang dapat diketahui melalui bahasabya. Misalnya, mengapa seseorang menngunakan kata “mampus” bukan kata “meninggal” . hal tersebut berproses dalam diri orang tersebut.
B.     Kajian Genderlek dalam Penelitian Bahasa
Coates (1996: 4) menyatakan gender merupakan istilah yang lebih akurat daripada sekadar membedakan sesuatu berdasarkan jenis kelamin. Jenis kelamin (sex) mengacu pada perbedaan biologis, sedangkan gender digunakan untuk mendeskripsikan katagori konstruksi sosiologis berdasarkan jenis kelamin. Masayrakat secara umum membagi gender dalam katagori pria (male) dan wanita (female). Poynton (1989:4) secara lebih terperinci menyatakan bahawa gender dibedakan menjadi feminine untuk perempuan dan masculine untuk lak-laki.
Analisis yang berpumpun pada gender dikenal dengan istilak genderlek (genderlect). Poynton (1989:68) menjelaskan bahwa identifikasi sederhana terhadap tuturan wanita dan pria dihubungkan dengan kehidupan mereka. Di sisi lain, tampaknya, bahasa wanita dan pria tidak berbeda. Oleh sebab itu, perlu digali aspek sosial dan budaya yang melatarbelakangi tuturan mereka untuk medeskripsikannya dengan konteks sosial dan budaya yang berlaku pada tempat hidup mereka.
Graddol dan Swann (2003:11) menyatakan bahwa manusia tidak lahir dengan gender. Manusia hanya mempelajari perilaku dan sikap sesuai dengan jenis kelamin mereka. Gender merupakan permasalahan yang kompleks. Teori-teori yang muncul berusaha dikembangkan dengan mempertahankan kompleksitas tersebut. Oleh sebab itu, sebenarnya, tidak ada suatu tuturan yang benar-benar melekat milik pria atau wanita. Munculnya karakter tuturan karena faktor genderlek dipengaruhi oleh pola asuh, kebiasaan, dan hal-hal lain yang merupakan upaya pemertahanan kompleksitas antara pria dan wanita.
Poynton (1989:19), menggambarkan terdapat dua cara pandang yang merupakan evaluasi terhadap masalah gender. Yang pertama, terdapat penilaian mutlak bahwa pria memiliki nilai lebih daripada wanita (terutama dari nilai bahwa pria lebih bertanggung  jawab, berpengetahuan luas, dan kreatif) hal tersebut dapat diamati pada budaya barat yang fundamental sebagai kontrol yang bersifat kodrati dan merupakan kontrol dunia sosial sebagai karakteristik kapitalisme barat pada abad ke-20.  Sudut pandang kedua, menurut Poynton ialah evaluasi sebagai hal yang kondisionalyang menilai asosiasi terhadap wanita (terutama nilai emosional, ekspresif, dan ilmiah). Hanya saja nilai kondisi tersebut tidak mendominasi. Dari uraian Poynton tersebut, rasanya, perlu ada penggambaran bagaimana evaluasi manusia secara umum terhadap masalah gender tersebut.
Uraian Mathiot (dalam Poynton, 1989: 47—48), kiranya cukup memberikan informasi kepada kita, bagaimana evaluasi umum citraan masyarakat terhadap karakter wanita dan pria. Uraian ini kemudian dikenal dengan oposisi semantik dan atribut dasar wanita dan pria.
Semanatic Oppositions corresponding to the formal opposition ‘she’ vs ‘he’
Basic attributes of women and men
 




Beautiful                 Vs    Ungly                           Women: Beautiful

                                                                                   Men:  Ugly
Women : Incompetent
Incompetent           Vs   Competent
Men: Incompetent

Challenge                Vs   Brave                             Women: A  challage to, or reward for
or reward
Men: brave

Prized Possesion     Vs Good-natured                    Women:  Men’s Prized possesions
                                                                               
Men: Good-natured
Mature                    Vs Infantile                            Women: Mature
                                                                             
Men: Infantile     
Oposisi tersebut lebih dikenal sebagai woman’s inhereant image atau men’s inhereant image yang dapat menjelaskan bahwa kelebihan wanita terdapat pada hubungan bermasyarakat dan superioritas emosinya. Sedangkan pria memiliki keunggulan dari segi hal yang berhubungan dengan keberanian dan superioritas intelektualnya. Perbedaan tersebut merupakan gambaran pola intim antara oposisi semantik dan atribut dasar wanita dan pria. Konsep dominasi pria dan subordinasi wanita sangat berkaitan dengan budaya yang berkembang dalam kehidupan suatu kelompok sosial. Gambaran tersebut dapat berubah dan tidak selamanya selalu sesuai dengan kondisi masyarakat. Namun, terdapat anggapan bahwa pada dasarnya atribut dasar tersebut nyaris sesuai untuk budaya mana pun kendatipun banyak juga yang menolak  dengan alasan kurang berpihak pada wanita dan ada pula yang berpendapat kurang berpihak pada pria.
Selain pengamatan terhadap atribut dasar pria dan wanita, aspek genderlek dalam penelitian bahasa dan budaya dikembangkan juga dalam pengamatan perbedaan cara bertutur.  Perbedaan bertutur dari segi jenis kelamin merupakan aspek yang dikembangkan dalam studi sosiolinguistik (cf Coates, 1986). Berikut pendapat beberapa pakar mengenai perbedaan tuturan wanita dan pria.

SUMBER
DESKRIPSI PERBEDAAN TUTURAN
WANITA DAN PRIA
Coates (1986) dan Holmes (1992)
(1)Pria lebih kreatif memberikan ekspresi segar sebagai bentuk inovasi sedangkan wanita lebih pasif dalam hal ini. Wanita sebagai subordinat dinyatakan oleh Holmes, sangat terikat dengan kehidupannya. Dengan demikian mereka dituntut lebih sopan. Bahkan, Coates menyatakan pria lebih terbuka dalam mengemukakan umpatan  daripada wanita
(2) Dalam topik-topik tertentu wanita lebih aktif berbicara
(3) Pria sering melakukan interupsi dalam pembicaraan sedangkan wanita sering menunjukkan solidaritas dengan you know  atau dengan tag quistion
Lakoff (dalam Ohoiwutun 1997:89)
Wanita lebih banyak menggunakan pertimbangan. Wanita lebih sering menggunkan kalimat tanya dan intonasi perintah yang sopan.
Philips (1987:91)
Wanita memiliki tingkat persentase kesopanan lebih tinggi daripada pria (mengutip kajian Honorifik di Jepang, yang dilakukan oleh Kokoritzu Kokugo Kenkyuzo tahun 1957)

Deskripsi tersebut terikat dengan situasi dan keadaan yang terdapat pada lingkungan penutur. Perbedaan tuturan wanita dan pria tersebut didasarkan pada kondisi umum saat pengamatan dilakukan. Deskripsi perbedaan ekspresi emotif wanita dan pria bergantung pada berbagai faktor yang perlu dikaji lebih lanjut.
Mengetahui perbedaan tuturan antara wanita dan pria pada dasarnya bukan untuk membedakan secara radikal bagaimana karakter wanita dan pria dalam sekelompok masyarakat, melainkan untuk mengetahui bagaimana respon dan kecenderungan sikap masyarakat terhadap sebuah kasus yang sedang berkembang. Deskripsi ekspresi emotif menjadi sesuatu yang potensial untuk dibahas sejalan dengan munculnya masalah yang merupakan sumber representasi emosi.
C.     Dialek Osing
Osing Merupakan salah satu dialek dalam bahasa Jawa. Dialek Osing dimiliki oleh masyarakat Banyuwangi. Kajian tentang dialek Osing diharapkan  tidak hanya memberikan informasi linguistik, tetapi juga tentang kultur sosialnya. Salah satu aspek yang dapat menguak kultur soial sebuah masyarakat ialah tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan emosi. Dalam artikel ini tuturan tersebut disebut sebagai ekspresi emotif.
Selama ini osing dikenal sebagai bahasa bukan dialek. Masyarakat khususnya masyarakat Osing di Banyuwangi lebih mengenal Osing sebagai bahasa daripada Osing sebagai dialek. Hal tersebut tentunya terkait dengan berbagai faktor psikologis dan sosiologis. Pemilik sebuah dialek tentunya lebih bangga jika dialek mereka dinyatakan sebagai bahasa. Kisyani-Laksono (2001:185) menyatakan penggunaan istilah bahasa dapat dicermati dari dua sisi. Istilah “bahasa” yang pertama dapat mengacu pada identitas sebagai sesuatu yang mandiri yang berbeda dengan bahasa lain (bukan sekadar dialek). Istilah ‘bahasa” yang kedua disebut basa [bɔsɔ] dalam identitas sebagai penanda jati diri kelompok atau daerah, seperti istilah [bɔsɔ Sɔlɔ, bɔsɔ Banyumas, bɔso Tengger, bɔsɔ Surɔbɔyɔ]. Masyarakat Osing beranggapan “bahasa” mereka tersebut merupakan “bahasa” tersendiri yang tidak sama dengan bahasa Jawa. Hal tersebut juga diungkapkan oleh tokoh masyarakat Banyuwangi, Hasan Ali, dalam sebuah wawancara berkaitan dengan penelitian ini. Beliau menegaskan bahwa masyarakat Osing tidak mau menerima anggapan bahwa Osing adalah sebuah dialek bukan bahasa. Mungkin, hal ini, sebagai sisa rasa curiga terhadap wong kulonan atau sikap fanatismenya yang berlebihan terhadap bahasanya (Ali, 1991:6). Menurut Hutomo (1990:3) sebagaimana dikutip Ali (1991:6), sikap tersebut wajar dalam kebahasaan dan dapat dipertanggungjawabkan sebab terdapat penilaian etik dan emik dalam bahasa. Pandangan etik lebih bersifat teoritis yang mungkin lebih bersifat sementara dan perlu dikaji kebenarannya, sedangkan pandangan emik lebih bersifat praktis, kesejarahan, dan kenyataan yang konkret.
Ali (1991:6) juga menyatakan bahwa memang secara leksikal banyak sekali kosa kata osing yang sama dengan bahasa Jawa secara umum. Namun, dalam hal ini beliau menganggapnya wajar terlebih lagi jika persinggungan dan saling meminjam antara dua bahasa tersebut bersumber dari bahasa yang sama, yaitu bahasa Jawa Kuna. Beliau juga menegaskan bahwa banyak sekali bahasa Jawa Kuna yang masih produktif dalam dialek Osing yang dalam bahasa Jawa (baru) sudah tidak muncul lagi. Oleh sebab itu, menurut beliau, tidaklah luar biasa jika masyarakat Osing, lebih suka jika bahasa mereka dianggap sempalan dari bahasa Jawa Kuna daripada dialek bahasa Jawa Baru.
Kisyani-Laksono (2001:186) menjelaskan bahwa penentuan bahasa atau dialek dapat ditentukan dari sisi linguistik dan sisi penutur. Istilah “dialek Osing” merupakan pengamatan dari sisi linguistik melalui penghitungan linguistis dialektometris dan istilah “bahasa Osing” merupakan pengamatan dari sisi penutur.
Kisyani-Laksono (2001) melakukan penelitian dialektogis dalam “Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan”. Salah satu hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Osing ialah dialek bukan bahasa. Penentuan Osing sebagai dialek telah diperhitungkan secara linguistik melalui kajian dialektologis. Identifikasi dialek Osing dalam penelitian tersebut dilakukan dengan perhitungan perbedaan leksikal, penghitungan perbedaan fonologis, penghitungan perbedaan leksikal dan fonologis, dan perhitungan permutasi anatardaerah penelitian.
Kisyani-Laksono (2001:166)  menyatakan bahwa berdasarkan hasil perhitungan  dan peta dialektometri leksikal, bahasa Jawa Timur bagian utara dan Blambangan terdiri atas dua dialek, yaitu dialek di bagian barat dan dialek di bagian timur-laut  (dialek Osing). Mengenai penentuan dialek Osing secara khusus Kisyani-Laksono menyatakan penggolongan dialek Osing merupakan penggolongan berdasarkan berkas isoglos dan secara dialektometris (leksikal dan fonologis).
Ciri yang melekat pada dialek Osing jika diamati secara langsung ialah intonasi dan perbedaan beberapa kosa kata. Dialek osing merupakan dialek yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Madura yang banyak dipakai oleh masyarakat sebelah barat Banyuwangi seperti Jember, Lumajang, Situbondo, dan lain-lain. Dialek Osing juga banyak mendapat pengaruh bahasa Bali yang berseberangan langsung dengan Banyuwangi (sebelah timur Banyuwangi). Kondisi Geografis inilah yang menyebabkan Osing memiliki ciri khas tidak hanya dari segi penggunaan dialek, tetapi juga budaya dan karakter masyarakat yang dapat tercemin dari ekspresi emotif yang digunakan masyarakat Osing.
Penelitian dialek Osing dalam aspek ekspresi emotif tentunya tidak bisa dipandang dari segi dialek dan luapan emosi belaka. Lebih jauh dari itu, ekspresi emotif dalam dialek Osing merupakan gambaran kondisi sosiokultural dan gambaran psikis masyarakat Banyuwangi. Hal ini erat kaitannya dengan pemahaman proses bahasa manusia yang melibatkan perasaan dan pikiran.
II.                Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif  yang mengacu pada sitruasi yang wajar atau perubahan secara langsung yang teramati. Data penelitian ini ialah ekspresi emotif yang digunkan wanita dan pria untuk menyatakan enam emosi dasar, yaitu kebencian, kesedihan, cinta, kegembiraan, kekaguman, serta keinginan. Ekspresi emotif tersebut diproduksi oleh penutur dialek Osing asli—yang dalam penelitian ini disebut informan—yang dipilih berdasarkan pendapat Samarin (1988: 55—71) yakni berdasarkan umur, jenis kelamin, mutu kebudayaan, psikologi, kewaspadaan, dan bahasa.
Data diperoleh dengan perekaman melalui tape recorder, tanpa diketahui informan. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipasi dan non- partisipasi. Data diambil dalam peristiwa langsung dengan kehadiran peneliti dengan pelibatan atau tanpa pelibatan. Peneliti berbaur dengan informan, mengamati dan menyimak. Jika dibutuhkan peneliti dapat memberikan sapaan pancingan secara alami untuk membuka percakapan.
 Informan  penelitian ditentukan berdasarkan kriteria Samarin (1988:55). Untuk penelitian ini digunakan responden masyarakat asli penutur dialek Osing yakni Kemiren, Grogol, Rogojampi, dan Penataban.  Informan adalah wanita berusia di atas 21 tahun sebanyak 42 orang, dan pria di atas 21 tahun sebanyak 34 orang. Mereka bekerja pada beragam bidang yaitu petani (pemilik dan penggarap), guru, dan pedagang.
III.             Pembahasan
Deskripsi leksikal ekspresi emotif berdialek Osing yang digunakan oleh penutur wanita (PW) dan penutur pria (PP) dilakukan untuk mengetahui bentuk verba, ajektiva, nomina yang digunakan untuk mengekspresikan emosi mereka. Deskripsi berikut merupakan analisis diakronis yang dapat berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan zaman. Dari deskripsi ini  dapat diketahui terdapatnya asumsi perbedaan tuturan wanita dan pria dalam dialek Osing yang digunakan untuk mengekspresikan emosinya.
A.    Deskripsi Leksikal Ekspresi Emotif  Berdialek Osing
(1)   Verba Emotif Berdialek Osing
Verba emotif dalam dialek Osing ditemukan digunakan untuk menyatakan kebencian, kesedihan, kegembiraan, kekaguman, cinta dan keinginan. Dari pengamatan tidak ada verba khusus yang membedakan tuturan wanita dan pria dalam mekgekspresikan  keenam emosi tersebut.
Perbedaan verba emotif yang dituturkan wanita dan pria berdialek Osing dapat diamati pada pengguaan verba yang berhubungan dengan kekerasan fisik yang banyak dinyatakan oleh PP, terutama pada pembicaraan bertema dukun santet yang menggemparkan Banyuwangi dengan kasus pembunuhan (pembantaian) orang yang dicurigai sebagai dukun santet beberapa waktu lalu. PP lebih ekspresif dan kaya dengan verba yang berkaitan dengan kekerasan fisik. Dapat diamati pada kalimat berikut,
1.a Ya weruh. Yaiku wong dhurung karuan, ya sekaken, ya wes diarani, diseksa temenan, dipenthungi, terus digantung ampek melet dhigu, hing mati ya hing urip, tapi hang lebih kurang ajar maning apuo ngelantar nang guru ngaji sampek ana guru ngaji hang turu nyang langgar, hing gelem mulih nyang umyahe , ya urip nyang langgyar serange wedhi dijantur iku mau.
‘ Ya tahu. Yaitulah, belum tentu (pelakunya), ya kasihan, ya diruduh, ya benar-benar disiksa, tapi yang lebih kurang ajar mengapa harus merambah ke guru mengaji samapi-sampai ada guru mengaji yang tidur di musholla, tidak mau pulang ke rumahnya, ya hidup di musholla sebab takut digantung.
1b Parane, byarang dhidheleng sikile  ana bolake, dijabut, byek kari tega hang mateni
     ‘apanya, waktu lihat kakinya, ada benang langsung dicccabut, (byek) tega sekali yang membunuh’
Sedangkan untuk tema dukun santet, PW cenderung hanya memberikan gambaran umum dan lebih banyak menceritakan perasaannya dalam deskripsi tersebut.
1c. Ya gedhigu, akeh hang dhipateni, wedhi isun, lare-lare hun kempiti, nai mrene ninja ikau.
‘Ya begitulah, banyak yang dibunuh, takut saya, anak-anak saya dekap (dengan erat), mungkin saja ke sini ninja itu.’
1d. Ya jare ngelantar nyang guru ngaji, embuh wes, kari wedhi isun dek.
‘Ya katanya merambah ke guru mengaji, entahlah, sangat takut saya dik.’
PW pada umumnya kurang terperinci dalam menyatakan perbuatan dengan verba emotif yang berhubungan dengan kekerasan fisik. Verba emotif yang berhubungan dengan kekerasan fisik digunakan untuk melambangkan perbuatan lain (bermakna konotatif) . Dapat diamati pada salah satu tuturan berikut.
2a. wes akeh tatu, kaya ngiris-ngiris atinisun
‘sudah banyak luka, seperti mengiris-ngiris (memotong-motong) hati saya’
2b. lare males gedhigu wes, kepleten mari.
‘anak seperti itu (sikapnya begitu), permainkan saja.
2c. kadung poco, ngko ta yara dhipiles sira.
     ‘kalau jadi (menikah), nanti kamu akan diinjak-injak’
Perbedaan penggunaan verba berkaitan dengan kekerasan fisik dalam tema dukun santet antara PW dan PP terjadi karena PP adalah pemerhati hal yang berkaitan dengan kekerasan fisik. Pada masalah dukun santet yang banyak berperan ialah pria. Pria adalah sasaran pembantaian dukun santet tersebut(dari fakta yang ada, yang dibunuh karena tuduhan dukun santet, adalah pria). Oleh sebab itu, PP memiliki pemahaman wacana yang lebih baik mengenai peristiwa tersebut.
(2)   Nomina Emotif Berdialek Osing
Penelitian dilakukan pada nomina emotif yang digunakan untuk mengekspresikan keenam emosi dasar seperti pada verba bagian 1. Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan nomina emotif yang digunakan oleh PW dan PP  tampak pada penggunaan nomina umpatan. Sebuah kata dinyatakan sebagai umpatan jika ditunjang oleh situasi yang mendukung.
Dari hasil wawancara dengan budayawan Osing, Hasnan Singodimajan dapat dinyatakan bahwa tiga umpatan yang memerikan binatang tertentu yaitu celeng [clŋ] ‘celeng’, asu ‘anjing’, dan byebi ‘babi’. Berian ini pun sama dengan umpatan berbahasa Jawa di daerah lain di Indonesia. Konteks kalimat ketiga berian yang berhubungan dengan makhluk tertentu seperti pada data setan. Berian sejenis seperti iblis ditemukan pada penutur laki-laki. Kroscek di lapangan menunjukkan berian setan lebih populer daripada berian iblis. 
2a. Lare iku mula setan.
      ‘Anak itu memang setan’
2b. Hing trima setan, iblis mula lare kau.
      ‘tidak cukup (disebut) setan, memang anak itu iblis’
Namun, menurut Hasnan Singodimajan iblis merupakan kata umpatan yang terdapat dalam dialek Osing. Di samping itu, terdapat pula bentuk umpatan dengan memerikan makhluk tertentu yaitu leak [leak] yang sudah jarang digunakan sejalan dengan perkembangan zaman. Dalam penelitian ini penutur wanita hanya menggunakan berian setan dan penutur pria menggunakan berian setan dan iblis. Dari hasil cek langsung dengan pengamatan pada masyarakat Osing dan wawancara dengan pakar budaya Osing, Hasnan Singodimajan, dan Hasan Ali dapat dinyatakan bahwa ketiga berian tersebut lazim dipakai oleh penutur wanita dan pria dalam mengekspresikan emosinya.
Dalam penelitian ini ditemukan pula penggunaan berian alat kelamin wanita dan alat kelamin pria oleh penutur wanita saja. PP tidak ditemukan menggunakan berian tersebut. Namun, hasil cek langsung di lapangan menunjukkan PP juga dapat menggunakannya.
Umpatan dengan memerikan pekerjaan tertentu terkait dengan pekerjaan wanita tunasusila atau pekerja seks komersial (PSK) yang dalam dialek Osing memiliki penyebutan tersendiri seperti pada data senuk dan lonthe.
2c. Lumuh wes, dadia senuk, lumuh!
      ‘Biarlah, menjadi, (meskipun) menjadi PSK, biarlah!
 Kata lonthe digunakan secara umum dalam bahasa Jawa, namun dalam masyarakat Osing kata lonthe  dapat digunakan sebagai ajektiva pemeri sifat yang dapat dilekati pentarafannya adjektiva dengan kata kari [kari] ‘sangat’. Dalam penelitian ini tidak ditemukan PP yang menggunakan dua berian ini walaupun dari hasil cek langsung di lapangan memungkinkan PP memakai dua berian tersebut untuk menyatakan emosinya.    
(3)   Adjektiva Emotif Berdialek Osing
a)      Penggunaan suker [sukər] dan byangkel [byaŋkel]
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan dalam penggunaan ajektiva oleh PW dan PP. Ajektiva yang berhubungan dengan langsung dengan ekspresi ialah ajektiva yang berhubungan dengan sikap batin. Ajektiva sifat batin yang berbeda penggunaannya ialah suker dan byangkel yang keduanya menyatakan rasa tidak suka (kebencian).
PW lebih banyak menggunakan kata suker daripada kata byangkel. Kata suker bahkan digunakan untuk menyatakan kegembiraan yang ditutupi oleh penutur karena rasa malu. Penggunaan kata suker dapat diamati pada kalimat berikut,
3a. Aja cerita iku wes, kari suker, hun.
      ‘jangan menceritakan itu (sudahlah), sangat benci, saya’
3b. Ya demen isun. Tapi isin yara isun, suker isun ambi lare iki.
     ‘Ya suka (cinta) saya. Tapi, malu kan, saya, saya benci sama kamu ini.’
3c. Emane ta wes wadhon, lanango hun tujah lare ikau. Byangkel isun.
     ‘untunglah dia perempuan, (seandainya) laki-laki saya tusuk anak itu. Benci saya
Konteks kalimat 3b ialah ekspresi rasa gembira karena telah dipertemukan dengan orang yang dicintai dan penutur merasa malu tetapi bahagia. Kata suker dipakai sebagai ironi. Hal tersebut berbeda dengan kalimat 3a pada kalimat tersebut kata suker bermakna sebenarnya. Demikian pula kata byangkel dalam kalimat 3b digunakan dalam pengertian yang sebenarnya. Dua kata ekspresi kebencian ini memiliki intensitas penggunaan yang tinggi di Banyuwangi.
Kata suker dalam bahasa Jawa secara umum digunakan untuk menyatakan rasa jijik pada sesuatu yang kotor. Dari hasil cek langsung di lapangan kata tersebut mengalami perubahan makna meluas sehingga masyarakat Osing menggunakan kata suker untuk menyatakan rasa tidak suka pada seseorang atau keadaan tertentu yang setara dengan kata benci yang memiliki nilai lebih mendalam dari kata byangkel.
Kata byangkel berasal dari kata mangkel yang mengalami adaptasi dan epentesis [-y-]. Kisyani Laksono (2001:278) menyatakan bahwa dalam dialek Osing terjadi epentesis [-y-] setelah [-k-] (konsonan) yang menunjukkan adanya palatalisasi pada bunyi [b, w, g, d, q, j, l, m, n, r]. hal ini terjadi jika bunyi-bunyi itu diikuti oleh bunyi [a, e, e]. Posisi munculnya palatalisasi ini bervariasi, dapat pada posisi ultima atau penultima.
b)      Najis, nagud, dan byalak.
Najis, nagud, dan byalak merupakan tiga ajektiva yang digunakan untuk memakai dalam dialek Osing baik wanita maupun pria. Ketiganya dapat diamati pada kalimat,
4a. Rika ngomong gedhigu, hing wedhi. Najis isun gedhigu.
    ‘ Kamu bicara begitu, tidak taku. Najis saya (melakukan) yang begitu’
4b. Nagud lare iki, sira iki apua kok sampek gedhigu?
      ‘(Nagud), anak ini, kamu ini kenapa kok sampai begitu?
4c. Hun takoni munyik, serta sun parani nyang umyahe wes duwe sir-siran, byalak nai wes!.
     ‘Saya tanya, hanya tersenyum simpul, ketika saya datangi rumahnya (ternyata) sudah punya pacar, (byalak) sudah lah.
Najis digunakan oleh PW seperti pada kalimat 4a, digunakan untuk mengekspresikan kemarahan sehingga menyatakan bahwa sebuah perbuatan najis dilakukannya. Sedangkan Nagud merupakan bentuk amelioratif najis. Penggunaannya sangat populer karena berian ini tidak hanya digunakan untuk memaki karena rasa benci, tapi juga untuk menyatakan rasa gembira  atau terkejut (hasil cek langsung lapangan).  Perkembangan sekarang ini nagud jarang digunakan untuk menyatakan rasa jengkel. Nagud dapat digunakan pada seperti konteks kalimat 4b, rasa benci yang tidak sebenarnya.
Byalak merupakan bentuk makian yang sudah kuno dan kemudian dipopulerkan lagi penggunaannya oleh penutur pria berusia remaja. Hal ini ditemukan satu daerah penelitian saja. Tidak ditemukan penggunaan berian ini oleh PW. Dari cek langsung di lapangan juga demikian. Penggunaan byalak semula adjektiva untuk menyatakan kemarahan atau ketidaksukaan pada seseorang. Penutur menggunakan ajektiva tersebut untuk melebihkan nilai emosi yang dirasakannya.
c)      Penggunaan Adjektiva dari Perilaku Semantis
Perbedaan penggunaan adjektiva antara PW dan PP juga tampak pada penggunaan adjektiva yang berhubungan dengan sikap batin.  PW lebih luas dalam memerincikan sikap batin seseorang dibandingkan PP. Hal tersebut juga terjadi pada saat penutur tersebut menilai seseorang yang dengan kasus yang sama. PW menuturkan adjektiva sikap batin sungkanan[suŋkanan] ‘malas’, kothoran [kɔtɔran] ‘jorok’, irian ‘(sering) iri, jenggian ‘dengki’, jugil []jUgIl] ‘kejam’, dan sayah ‘menjengkelkan’, sedangkan penutur pria menuturkan ajektiva sikap batin sungkanan ‘pemalas’, sombong ‘sombong’  dan kari gedhigu ‘(sangat/ terlalu) begitu… (tidak jelas menyatakan kondisi…). Hal tersebut menunjukkan bahwa PW lebih terperinci (elaborated) dalam menuturkan penilaian terhadap seseorang dengan menggunakan ajektiva sikap batin. 
Jika diamati penggunaan adjektiva sikap batin pada PW lebih terarah dan terperinci daripada PP. Adjektiva sikap batin yang digunakan pria adalah adjektiva yang bersifat umum: demen [dəmən] ‘suka/ naksir/cinta’, sombong ‘sombong’, lega [ləgɔ] ‘lega’, girang [giraŋ]‘bahagia’, bengis [bəŋis] ‘bengis’, priatin ‘prihatin’, sugyal ‘binal’, cinta ‘cinta’, seneng [sənəŋ] ‘senang’ dan sebagainya. PW menggunakan adjektiva sikap batin secara terperinci misalnya judes ‘judes’, ngoyo [ŋɔyɔ] ‘ngoyo’, mental [mentɔlɔ] ‘tega’, mblenger [mblələŋər] ‘bosan’, ngelintis [ŋəltis] ‘(tangannya) usil’, cerewet [cər∑w∑t]‘cerewet’, betah [bətah]‘betah’, angel [aŋ∑l]  ‘sulit’,  menjeng [m∑nj∑ŋ]‘genit’, lonthe [lonte] ‘binal’, serepet [sər∑p∑t]‘(agak) gila’, juwari [juwari]‘tidak punya malu’, dan sebagainya. Untuk menyebutkan sikap genit seseorang, PW menuturkan adjektiva menjeng, kemenyek, lonthe. Hal ini tidak terdapat pada tuturan pria. Hal ini (menurut penutur) memang wajar terjadi sebab PP tidak menyukai pembicaraan mengenai sikap seseorang. Mereka lebih menyukai topik pembicaraan mengenai pekerjaan dan hal-hal yang dialami masyarakat umum. Oleh sebab itu, memberikan penilaian secara mendalam pada seseorang dengan berbagai adjektiva yang demikian terinci pada umumnya tidak mereka lakukan. Penggunaan adjektiva pemerian sifat antara PW dan PP tidak tidak berbeda. Pemerian sifat tersebut sangat bergantung pada objek yang dinilai.
Penggunaan Adjektiva cerapan pada PW lebih terperinci daripada penggunaan ajektiva PP. PW menyatakan kulit yang gelap dengan adjektiva warna cemeng [cəməŋ], biru, dan ungu secara bersamaan.  Dari cek langsung penutur pria hanya menggunakan kata cemeng dan jika untuk menekankan emosi mereka menggunakan biru atau ungu dengan tidak menggunakan secara bersamaan. Untuk menyatakan kulit yang bersih PW (menurut penutur) menggunakan kata putih dan kuning walaupun objek yang dinilai berkulit kuning langsat, sedangkan penutur pria pada umumnya menggunakan adjektiva kuning jika objek yang dinilai berwarna kuning dan jika yang dinilai putih seperti warna ras Tionghoa mereka akan mengatakan putih. Hal ini menunjukkan bahwa PW menggunakan adjektiva warna secara langsung untuk meningkatkan kualitas emotif pada tuturannya.
PP menggunakan sinesti untuk adjektiva warna menunjukkan adjektiva putih digunakan menandai sikap baik seseorang sehingga dinyatakan bersih seperti warna putih. Dari hasil cek langsung di lapangan ditemukan bahwa PW akan menyebutkan sikap baik seseorang dengan adjektiva sikap batin, namun penggunaan putih sebagai sinesti sikap batin dapat pula mereka gunakan.
Penggunaan adjektiva cerapan dalam ekspresi emotif pada data tersebut merupakan bentuk sinestesi kecuali adjektiva gyaring yang secara langsung menyatakan kulit yang kering. Sinestesi pada tuturan wanita adalah adjektiva cerapan yang berhubungan dengan perabaan yaitu kaku, keras untuk menandai sikap yang tidak mudah menerima pendapat orang lain. Panas untuk menandai suasana desa yang tidak tentram.
Sinestesi adjektiva cerapan pada pada tuturan pria berhubungan dengan penglihatan, perabaan, dan pecintarasaan. Adjektiva cerapan penglihatan yaitu pyar-pyar dan padang yang digunakan untuk menyatakan rasa bahagia hingga merasa dunia terasa terang. Adjektiva cerapan pada perabaan adalah keras untuk menandai sikap yang tidak mudah menerima pendapat orang lain. Adjektiva cerapan yang berhubungan dengan pencitarasaan ialah gurih, kari gurih, nikmat yang digunakan menyebutkan objek seorang wanita cantik. Hal ini menunjukkan penutur pria lebih kreatif dalam membentuk sinestesi.
Adjektiva ukuran digunakan penutur wanita untuk mendeskripsikan objek yang dinilai. Adjektiva tersebut merupakan penilaian yang dilatarbelakangi oleh rasa tidak suka. Adjektiva ukuran tubuh yaitu keceng ‘keceng’, cilik ‘kecil’ dan ndek ‘pendek’. Sedangkan supek ‘sempit’  merupakan bentuk metafor perasaan yang tidak leluasa dan tidak nyaman karena suatu masalah. Adjektiva sing pati beg ‘tidak waras’ dalam kalimat, 
(5a) Lare kari sing pati beg.
       Anak tidak waras
Adjektiva tersebut merupakan metafor untuk orang yang mentalnya terganggu atau gila. Bentuk-bentuk adjetiva tersebut digunakan oleh PW. PP (hasil cek langsung) dapat pula menggunakan adjektiva tersebut. Namun, karena mereka cenderung kurang terperinci dalam menggunakan adjektiva ukuran sebagai metafor atau sebagai adjektiva penunjuk penilaian, dalam tuturan mereka tidak ditemukan penggunaan bentuk tersebut untuk mengekspresikan emosinya.
Jika diamati, adjektiva ukuran pada tuturan wanita digunakan untuk mendeskripsikan keadaan objek. Berkaitan dengan adjektiva sikap batin yang telah diuraikan di atas, PW lebih terperinci daripada PP dalam memberikan deskripsi sikap batin. Hal itu berlaku pula pada deskripsi adjektiva ukuran yang berhubungan dengan ekspresi emotif. PW mampu memerinci adjektiva ukuran untuk mendeskripsikan subjek dengan baik karena latar belakang emosinya. Menurut Bapak Hasnan Singodimajan dan dari hasil cek langsung, hal itu terjadi karena PP kurang mampu memberikan komentar (deskripsi) fisik seseorang dengan sedetailnya kendatinya terdapat latarbelakang emosi.
d)     Pertarafan Tingkat Elatif  Adjektiva
Hal ketiga yang dapat diamati pada adjektiva emotif dalam dialek Osing ialah tingkat elatif adjektiva untuk menggambarkan tingkat kualitas atau intensitas yang tinggi. Pewatas yang digunakan ialah seru [səru], seketane [sək∑tane], dan kari [kari]. Dalam hal ini tidak ditemukan adanya perbedaan penggunaan pertarafan tingkat elatif adjektiva,  contoh pada tuturan wanita:
(6a)  wong tuek kari kaya paran
      ‘orang sangat seperti apa’          
(6b)  Seketane ndugyal anak isun ikau, picis thok.
        ‘anak saya itu terlalu nakal, uang saja yang diminta.’              
Pewatas seketane dapat berdiri sendiri sebagai kata yang bermakna ‘terlalu’ yang menekankan makna sesuai konteks kalimat, contoh:
(6c) Seketane isun nyang Ipung iku…
       ‘Saya terlalu (saying /kasihan) pada Ipung itu’              
Penggunaan pewatas seru terdapat pada data berikut,
(6d) Kadung seru welase ya muliya nyang umyahe…
        ‘Kalau sudah terlalu rasa cintanya pulanglah saja ke rumahnya…’
Pertarafan tingkat elatif juga digunakan penutur pria, contoh:
(6e) Kari  lemet   ira   Nar!...
     ‘lamban sekali kamu, Nar!...

 (6f) seketane welas
        ‘Terlalu cinta’
Penggunaan pewatas seketane dapat diamati pada data tersebut dapat berdiri sendiri sebagai kata yang bermakna ‘karena terlalu’ yang menekankan makna sesuai konteks kalimat, contoh:
 (6g) seketane nyang kebone
        ‘terlalu (cinta) pada kerbaunya’ 
 (6h) Seru byangkele nyang Mak Wek…
       ‘Terlalu jengkel  pada Mak wek…’
Pewatas seketane pada tuturan tersebut, tidak hanya menyatakan cinta, tetapi juga digunakan untuk menyatakan perasaan benci. Makna  seketane  dapat dimaknai sesuai konteks tuturan. Penggunaan pewatas sebagai pembentuk adjektiva untuk menunjukkan tingkat elatif sudah lazim dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula dalam dialek Osing. Pewatas tersebut digunakan untuk mengekspresikan emosi sebagai penegas makna. Pewatas-pewatas tersebut dituturkan oleh wanita dan pria.

IV.             Simpulan
Dari uraian deskripsi leksikal tuturan emotif  berdialek Osing diketahui bahwa PP cenderung menggunakan verba  yang berkaiatan dengan kekerasan fisik pada wacana “Dukun Santet” daripada PW. Hal tersebut terjadi karena PP merupakan pengamat kekerasan fisik yang menimpa korban kekerasan pada bebrapa orang dan keluarga yang dianggap dukun santet. Verba emotif bidang kekerasan fisik pun dikuasai oleh PW. Verba tersebut digunakan untuk menyatakan hal yang bersifat konotatif.  Nomina emotif yang digunakan ialah nama binatang dan makhluk tertentu yang digunakan untuk makian, yakni  celeng ‘celeng’, asu ‘anjing’, dan byebi ‘babi’ setan, dan iblis. Kroscek di lapangan menunjukkan berian setan lebih populer daripada berian iblis.
 Untuk rasa tidak suka digunakan suker dan byangkel. Kata yang digunakan sebagai unsur kosong namun menunjukkan penekanan ialah kata najis, nagud, dan byalak. Pada pengamatan adjektiva sikap batin, terdapat petunjuk bahwa PW lebih terperinci atau detail dalam menggunakan adjektiva sikap batin dan cerapan warna daripada PP. di samping itu, ditemukan pula sinestesi adjektiva cerapan penglihatan, perabaan, dan pecintarasaan pada tuturan pria dan sinestesi cerapan perabaan  dan adjektiva ukuran badan secara terperinci pada tuturan wanita. Penanda tingkat elatif ajektiva, baik PP maupun PW menggunakan kari, seru, seketane. Penanda kari  dan seru  selalu diikuti oleh adjektiva, sedangkan seketane  dapat digunakan tanpa diikuti adjektiva.



Daftar Pustaka
Alwasilah, A Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkas

Ali, Hasan. 1991. “Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi, Sebuah Laporan”  (makalah disampaikan pada Kongres bahasa Jawa di Semarang, 30 Juni—5Juli 1991)

Cassirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai tentang Manusia. Diterjemahkan oleh Alouis T Nugroho Jakarta: Gramedia Pustaka Tama

Coates, Jenifer. 1986. Woman, Man, and Language: A Sociolinguistics Account of Sex Difference in Language. New York: Longman Inc.

Fauzi, Ahmad. 1997. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia

Graddol, David dan Joan Swann. 2003. Gender Voices: Telaah Praktis  Relasi Bahasa dan Jender. Pasuruan: Pedati

Holmes J.D.  dan  J.B. Pride. 1992. Sociolinguistics. Australia: Penguin Books

Kisyani-Laksono. 2001. “Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan”. Disertasi. UGM Yogyakarta

Ohoiwutun Paul. 1997. Sosiolinguistik Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia

Philips, Susan U, Susan Steele, Cristine Tanz. 1987. Language, Gender, and Sex in Comparative Prespective. Cambridge: Penerbit dan Percetakan Universitas Cambridge

Poynton, Cate. 1989. Language and Gender: Making The Difference. Dieditori oleh Frances Cristie. Oxford: Penerbit dan Percetakan Oxford

Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius

Sudaryanto, 1990. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana

Suprapti, S.M, dkk. 1992. “Leksikon dan Taksonomi Emosi”. Dalam PELLBA 5. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya

           

           

2 komentar:

  1. bu bagi2 materi tentang BIPA dunk..saya mau coba penelitan tentang BIPA atau analisis penguasaan materi bahasa indonesia siswa kelas 12 SMA dalam persiapan UNAS. untuk judul terakhir ini yg saya mau angkat untuk bekel tesis bu...mohon bantuannnya...

    BalasHapus
  2. Anda sangat ngawur.penelitian anda lemah.jelas anda guru bahsa tp bukn pnlti bhsa.Sbaiknya anda bljr lg di pusat pnltian bhsa oseng.agr tdk sukur njeplak.seolah ilmiah tp ngawur

    BalasHapus