Minggu, 15 Juli 2012

Seminar Undiksha Juni 2012


PEMANFAATAN METAFORA DAN BAHASA UNGKAP KARIKATUR POLITIK
 DI MEDIA MASSA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
SEBAGAI UPAYA PREVENTIF MENTAL BLOCK

Oleh: Rusdhianti Wuryaningrum
Abstrak
Metafora dan karikatur politik merupakan dua aspek yang menggunakan bahasa untuk tujuan khusus. Metafora yang digunakan dalam media massa atau dalam komunikasi sehari-hari bertujuan menimbulkan efek khusus yang mengarah pada nilai emotif. Di samping itu, karikatur politik yang marak digunakan di media massa memiliki peran yang cukup besar sebagai sumber informasi dan kontrol sosial.  Mengungkap bahasa pada karikatur akan meningkatkan keterampilan berbahasa. Memahami matafora pun akan meningkatkan kemampuan analogi dan kritis dari segi performansi. Oleh karena itu, keduanya merupakan materi alternatif yang baik karena bersifat autentik dan sarat akan muatan pragmatis.
Pembelajaran berbasis karakter yang kini dilaksanakan dalam era pendidikan kita merupakan langkah maju untuk menyiapkan kualitas unggul calon pemimpin bangsa di masa depan. Pembelajaran karakter merupakan penghancur mental block. Jika tidak ditanggulangi, mental block  dapat mengakut dalam kehidupan generasi penerus. Oleh karena itu, perlu upaya preventif. Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini akan menyajikan rumusan persoalan sebagai berikut, (1) peran metafora dan bahasa ungkap sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia, dan (2) pengemasan materi metafora dan bahasa ungkap karikatur politik sebagai materi pembelajaran terkait upaya preventif  mental block.
Pembelajaran berbasis karakter yang tepat ialah pembelajaran yang holistik dan terintegrasi dalam tiap mata pelajaran. Oleh karena itu, diperlukan materi yang cukup menunjang agar pembelajaran berjalan fungsional. Metafora dan bahasa ungkap karikatur politik  di media massa merupakan materi yang fungsional sebagai agen pembelajaran kompetensi dan performansi bahasa. Di samping itu, melalui metafora dan bahasa ungkap karikatur politik, pembelajar akan belajar mengenal mental block dan efeknya. Untuk selanjutnya, mereka akan paham pentingnya memiliki karakter positif dalam kehidupan mereka. Secara alami mereka akan memiliki keterampilan berbahasa dan memiliki karakter yang terhindar dari mental block.
Kata kunci : metafora, bahasa ungkap karikatur politik, mental block
Abstract
Metaphor and politic caricature are two aspects which carry two languages for specific purposes. Metaphor used in mass media or daily conversation has purpose to arise specific impact that leads to an emotive value. And also Politic caricature which is always implemented in mass media has great enough role of benefit as information source and social control. To discuss a language on the caricature, will enhance the analogy and critical ability from performance side. Therefore, both of them are well alternative material because they have authentic and complex pragmatic value.
Character-based education, which has been implemented in our education era, is as step forward to prepare the leader of nation with superior quality in the future. Character learning is a destroyer of mental block. If there is no prevention, mental block will be able to carry on the next generation living. Therefore, it needs the preventive action. Based on the above statements, this paper will present the problem formulas, such as: (1) metaphor role and language expression as Indonesian learning (2) metaphor material packaging and language expression of politic caricature as material learning related with how to prevent mental block.  
Effective character-based education is learning by holistic and integrated in every lesson. Therefore, it is required the sufficient material to support learning so that it can run functionally. Metaphor and language expression of politic caricature in mass media are functional material and they have role as competency learning agent and language performance. Moreover, through metaphor and expression language of politic caricature, the learners will study to know the mental block and its impact. For further, the learners will understand how important to have positive character in their living. Naturally, they will possess language skill and character that stay away from mental block.   
Key words: metaphor, language expression of politic caricature, mental block
A.     Pendahuluan

Pembelajaran bahasa Indonesia seperti yang tertera dalam dalam KTSP  bahasa Indonesia baik di SMP maupun di SMA mengarah pada aspek keterampilan berbahasa yang dikaitkan dengan penggunaan bahasa untuk berbagai keperluan di masa sekarang dan yang akan datang. Sumber belajar yang dianjurkan pun beragam. Sumber belajar tersebut diupayakan sumber belajar yang autentik untuk mengotekstualkan proses pembelajaran bahasa Indonesia. Konstribusi pembelajaran bahasa Indonesia bagi kehidupan siswa di masa yang akan datang merupakan pertimbangan yang perlu dipikirkan dalam penyusunan materi.
Mengamati kondisi tersebut, perubahan positif ke arah pembelajaran inovatif bukan hanya pada masalah pendekatan, metode, dan teknik yang akan diterapkan, melainkan juga pada penentuan sumber belajar dan materi yang akan disajikan dalam proses pembelaran tersebut. Metode atau teknik pembelajaran berkaitan dengan cara atau prosedur penyajian, sedangkan materi atau kemasan materi terkait dengan sumber informasi dalam pembelajaran yang akan membuka wawasan siswa untuk mencapai kompetensi dasar yang telah dipilih. Oleh karenanya, pembelajar bahasa harus mempertimbangkannya materi sesuai peruntukannya.
Tujuan besar pembelajaran bahasa Indonesia ialah membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi tersebut, tentu saja tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai bentuk performansi kaidah, tetapi juga sebagai wujud pemahaman makna dan konteksnya. Seperti yang dinyatakan Nababan (1992: 124), komunikasi bukanlah sekadar pengoperasian struktur leksikal dan gramatikal, melainkan yang lebih urgen ialah pengoperasian  struktur sematis. Dengan demikian, pemahaman makna sebagai “wujud nonfisik” tuturan merupakan  komponen yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran bahasa. Seperti yang dikatakan Wijana dan Rohmadi (2011:3) unsur internal bahasa ialah wujud fisik dan nonfisik bahasa. Dalam mengajarkan wujud nonfisik bahasa dibutuhkan pembelajaran komunikatif yang bersumber dari kompleksitas penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Media massa merupakan sumber belajar yang sarat akan kompleksitas tersebut.
Keterampilan berbahasa siswa tidak hanya bertumpu pada komponen pembelajaran yang telah diuraikan, menurut Sutrisno (2002: 2) evaluasi dan kritik pada masalah internal seperti metode, media, materi, evaluasi atau proses mengajar bukanlah satu-satunya yang perlu diperhatikan. Komponen tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi berada di tengah berjalan bersama faktor-faktor eksternal seperti dinamika sosial masyarakat, akulturasi, perkembangan iptek, dan sebagainya yang berfungsi sebagai pajanan (eksposur) dengan pengaruh besar pada pembelajaran bahasa. Fenomena sosiopragmatik yang mengemuka dalam beberapa penelitian (termasuk penelitian Sutrisno, 2002) tentang pemahaman aspek sosiopragmatik masyrakat Indonesia ialah, (1) perbendaharaan ungkapan metaforis siswa SMU miskin, dan (2) telah timbul gejala penumpulan ketajaman kesantunan berbahasa yang akan berimpilkasi pada perilaku sosial.  Masalah tersebut juga dapat kita cermati pada karikatur politik Indonesia. Kemampuan siswa dalam memahami metafora erat pula dengan kemampuannya mengungkap bahasa karikatur politik. Pemahaman makna karikatur politik akan membuat mereka peka terhadap aspek pragmatik berbahasa yang akan mendukung pembentukan karakter yang positif. Jika diperluas, pemahaman makna karikatur politik akan membuat mereka paham akan peristiwa sosial di sekitar mereka yang akhirnya akan mendukung keterampilan berbahasa.
Metafora dan karikatur politik merupakan materi autentik pembelajaran bahasa Indonesia yang paling dekat dengan kehidupan siswa karena bisa ditemui surat kabar atau media on line. Surat kabar sebagai bentuk efek kehidupan global merupakan cermin pemakaian bahasa masyarakat yang tidak akan habis kita kaji.  Melalui berita, artikel, editorial, dan opini dalam surat kabar  dan media elektronik pembelajar dapat memperoleh bahan materi untuk disajikan di kelas.  Dalam silabus pun disebutkan surat kabar merupakan sumber belajar. Kita dapat mengamatinya pada draf berikut,

Pemanfaatan informasi dari media cetak dan elektronik muncul dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang akan mengarahkan pengajar untuk senantiasa mencermati hal apakah yang dapat dikaji sebagai bahan pembelajaran bahasa Indonesia dalam keempat keterampilan tersebut.
Kreativitas manusia dalam keterampilan berbahasa akan cepat berkembang sejalan dengan pencapaiannya memahami bahasa secara harfiah. Hal tersebut tidak akan tercapai tanpa pembelajaran bahasa secara fungsional yang mempertimbangkan aspek sosiolinguistik dan pragmatik. Metafora dan bahasa dalam karikatur politik merupakan bahan untuk memahami kedua hal tersebut. Pembahasan tersebut akan bermanfaat memberikan gambaran pada pembelajar bahasa (guru dan dosen) untuk mempertimbangkan metafora dan karikatur politik sebagai cermin kehidupan sosial yang terus hidup dan memberikan nilai makna dalam bahasa untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi.  
Penelitian terkait bidang pembelajaran yang menggunakan objek bahasa ungkap karikatur belum ditemukan. Penelitian terkait objek bahasa ungkap karikatur ialah penelitian Basnendar, dari ISI. Penelitian tersebut berjudul “Bahasa Ungkap Karikatur Politik Indonesia Tahun 1965” dan penelitian yang melibatkan karikatur lainnya ialah penelitian dengan judul  “Karikatur sebagai Karya Komunikasi Visual dalam penyampaian Kritik Sosial”, ditulis oleh Heru Dwi Waluyanto, Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni, dan Desain: UK Petra. Penelitian tersebut dimuat dalam bentuk artikel dalam Jurnal Nirmana, volume 2, No 2, Juli 2000: 128—134. Penelitian lain terkait metafora beragam, salah satunya yang relevan dengan peneltian ini ialah penelitian Endro Sutrisno (Tesis Unesa) yang berjudul “Penggunaan metafora dalam Media Massa Nasional dan Daerah: Kajian Sosiopragmatik.
Permasalahan yang perlu dipecahkan sebagai upaya pemanfaatan metafora dan bahasa ungkap karikatur politik ialah (1) peran metafora dan bahasa ungkap sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia, dan (2) pengemasan materi metafora dan bahasa ungkap karikatur politik sebagai materi pembelajaran terkait upaya preventif  mental block. Pembahasan berikut merupakan pembahasan terbuka yang dapat dikembangkan dalam praktik pembelajaran.

B.     Pembahasan
1.      Metafora di Media Massa dan Bahasa Ungkap karikatur Politik
Pembelajaran keterampilan berbahasa atau kebahasaan dan kesastraan dapat menjadikan metafora dan bahasa ungkap karikatur politik sebagai materi dan media dalam pembelajaran. Untuk menganalisis pragmatik misalnya, dosen dapat menggunakannya sebagai bahan kajian bagi mahasiswa. Demikian pula, dalam pembelajaran keterampilan berbahasa di SMP maupun SMA, matafora dan bahasa ungkap karikatur politik dapat dijadikan sebagai materi dan media pembelajaran untuk memberikan tanggapan, menyatakan persetujuan dan dukungan, mendiskusikan masalah aktual, menjelaskan secara lisan pokok-pokok masalah dalam artikel, termasuk membedakan fakta dan opini.  Sebagai materi dan media pembelajaran, metafora dan karikatur politik sarat akan informasi yang dapat dideskripsikan atau menjadi inspirasi bagi ide kreatif pembelajar.
Pada sisi lain, pembelajaran yang bersumber pada keterampilan berkomunikasi secara kontekstual dan ranah makna yang luas akan mengurangi hambatan pengungkapan ide yang sempit. Di dalam materi tersebut siswa atau mahasiswa akan dituntut untuk menggunakan bahasa secara pragmatis dengan menghubungkan komponen permasalahan yang mereka baca atau mereka simak. Singkatnya, pemahaman metafora dan bahasa ungkap karikatur politik akan membuat mereka lebih sensitif dalam memahami tuturan pun dalam memproduksi tuturan. Dalam sebuah visinya,  Wahab (2001) menyatakan bahwa pada suatu sisi ditengarai akan terjadi distorsi perkembangan bahasa Indonesia dengan peningkatan kata-kata kasar dan sadis di media massa, berkurangnya ungkapan bernuansa kebajikan, memudarnya ungkapan bernuansa budaya dan lingkungan.  Di samping itu, pemhaman metafora siswa SMA atau perguruan tinggi tingkat awal (Sutrisno, 2001) kurang baik. mereka cenderung memaknakan ungkapan metaforis secara literal  sehingga muncul distorsi pesan.
  Kridalaksana (1993:81) menjelaskan, implikasi pragmatik merupakan apa yang secara logis merupakan kesimpulan ujaran serta latar belakang apa yang diketahui bersama oleh kedua pihak dalam konteks tertentu. Belajar memahami metafora dan bahasa ungkap berarti belajar memahami konteks tuturan. Dengan memahami konteks, kita dapat membuat praduga dan mengungkap implikasi pragmatik atas apa yang dituturkan dalam konteks perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa menentukan perkembangan budaya masyarakat penggunanya. Sutrisno (2001) menyatakan bahasa yang digunakan oleh suatu bangsa memengaruhi cara bangsa itu memandang dunianya.
Konsep metafora sebagai perbandingan langsung dua hal. Keraf (1981:124) mendefinisikan metafora sebagai perbandingan langsung antara dua hal. Hal tersebut dapat diamati pada kalimat berikut,  
(1)   Jika Gayus mau mengatakan, kejahatan pajak akan terungkap.
(2)   Jika Gayus mau menyanyi, kejahatan pajak akan terungkap.
Dalam kalimat (1) tidak terdapat metafora yang menguatkan makna kalimat. Sedangkan,   dalam kalimat (2) terdapat metafora menyanyi .  Kata mengatakan masih membutuhkan objek sebenarnya dan perlu dijelaskan lagi maknanya karena tidak lagi ‘bernilai’ kontekstual. Kata menyanyi memiliki ‘nilai’ kontekstual yang harus dipahami petutur maknanya. Kata tersebut tidak membutuhkan objek yang berarti seseorang harus tahu latar belakang berita tersebut sehingga mampu memaknai kata menyanyi dengan baik.
Demikian pula pada bahasa ungkap karikatur politik, konteks berperan penting. Gambar dengan bantuan bahasa verbal mengacu pada sebuah wacana luas jika petutur mampu menangkap implikasi tuturan tersebut. Dapat diamati pada contoh berikut:
Gambar 1: Karikatur politik koruptor
Pada gambar 1 terdapat sindiran kepada terdakwa kasus korupsi. Timbul opini di masyarakat  bahwa bisanya, mereka enggan diperiksa. Alasan yang mereka katakan adalah sakit. Oleh karena itu, dalam gambar ditampilkan salah seorang koruptor yang sakit dengan kompres di dahinya.  Gambar tersebut memiliki makna yang luas dan dapat dikembangkan karena akan membuka uraian terkait masalah yang dibahas. Singkatnya, pemahaman terhadap konteks akan memengaruhi kualitas pemahaman metafora dan bahasa ungkap dalam karikatur politik.

Gambar 2: Karikatur politik Pak Susno Duadji
Dalam karikatur tersebut, tampak adanya dorongan yang mengarah pada tuntutan kepada Pak Susno agar segera membuktikan kebenaran yang dikatakannya terkait dugaan korupsi dana pengamanan pilkada Jawa Barat. Pak Susno divonis 3,5 tahun oleh pengadilan Tinggi DKI denda 2,2 M bulan subsider 4 bulan. Pak Susno akhir-akir ini berupaya meluruskan kasus korupsi dengan pernyataan-pernyataan ekstremnya. Oleh karena itu, dalam karikatur muncul kalimat Berantas Korupsi  yang dikatakan Pak Susno.
Karikatur 3: Karikatur Blue Energy
Karikatur ketiga tersebut memberikan pembelajaran fenomena penggantian BBM dengan energi alternatif yang sekarang marak dilakukan. Dalam karikatur tersebut,  Pak SBY menyatakan cape deh, sebagai ekspresi lelahnya pada kerumitan upaya mengganti BBM. Seperti yang kita ketahui kini, banyak pemikiran energi alternatif yang dilontarkan oleh beberapa pihak, tetapi tidak melalui pemikiran kritis dan penelitian ilmiah. Efeknya, penemuan tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan, bahkan hanya menjadi penemuan sesaat yang tidak bisa diterapkan.
Hal tersebut mengundang ungkap keprihatinan Ketua Jurusan Teknik Elektro UGM, Dr Ir Tumiran yang mengaku prihatin dengan maraknya penemuan bahan bakar alternatif karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Apalagi, penemuan tersebut telah menyesatkan masyarakat dan pemerintah yang menganggap bahan bakar air kini sudah bisa dimanfaatkan sebagai pengganti BBM. Menurut pak Tumiran, Jepang yang teknologinya sudah canggih dan kekurangan sumber energi belum bisa mengubah air menjadi sumber energi. Bahkan pakar mereka memprediksikan dibutuhkan puluhan tahun lagi untuk menjadikan air sebagai sumber energi (BBM),” kata Tumiran kepada wartawan, Selasa (27/5 2011) di ruang Fortakgama UGM (dikutip di harian nasional). Diakui Tumiran, dirinya belum mengakui sepenuhnya penemuan 'blue energy' oleh Joko Suprapto yang bisa mengubah air menjadi bahan bakar minyak pengganti bensin. Alasan yang dikemukakan Tumiran, penemuan Joko tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Menurutnya, setiap hasil penelitian yang sifatnya ilmiah harus dibuktikan secara ilmiah. Keprihatinan Tumiran selaku ilmuwan UGM ini pun semakin bertambah dengan adanya perhatian khusus dari Presiden SBY terhadap penemuan 'blue energy' tersebut pada November 2007 silam. Namun bersamaan dengan terbongkarnya kebohongan di balik penemuan tersebut, kata pak Tumiran, hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah seolah tidak memercayai hasil kajian dari lembaga penelitian seperti LIPI, BPPT, dan Perguruan Tinggi. Menurut beliau ini hal yang memalukan karena presiden kita lebih memercayai hal-hal seperti ini dan tidak pernah memanfaatkan lembaga keilmuan seperti LIPI, BPPT dan Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, muncullah katikatur yang menggambarkan kelelahan dan (sedikit) kejengkelan Presiden  SBY terhadap kasus blue nergy sebab perhatian dan upaya yang dilakukan belum mendapat hasil.
1.2  Pembelajaran Metafora dan Karikatur Politik sebagai Upaya Prevetif Mental Block
Mental Block merupakan sikap negatif yang dihasilkan dari pemikiran-pemikiran yang negatif. Zubaedi (2011:69) menyatakan mental block adalah cara berpikir dan perasaan yang terhalangi oleh ilusi-ilusi yang membuat kita terhambat untuk melangkah menuju kesuksesan. Gejala awal mental block ialah suka mengeluh, malas, tidak mau berubah, dan tidak mau ambil risiko atau tidak mau bertanggung jawab, termasuk tidak peduli (tidak acuh) pada kondisi sosial dan selalu berpikir instan tanpa proses yang mendewasakan. Kondisi tersebut dapat diperbaiki dengan pemahaman berkomunikasi dengan pendekatan pragmatik (linguistic fungsional) untuk meningkatkan perbendaharaan metaforis dan sensitivitas sosial dalam wujud tuturan yang akhirnya akan meningkatkan kesantunan.
Beberapa penyebab penyakit mental block, menurut Zubaedi (2011:70) ialah bad self-image (citra diri buruk), bad experience (pengalaman buruk), bad reference (rujukan buruk), bad environment (lingkungan buruk) dan bad education (pendidikan buruk). Sedangnkan virus-virus perusak penyebab mental block ialah blame (menyalahkan), justified (pembenaran), excuse (beralasan), prestige (gengsi), lazy (malas), afraid (takut), waiting (menunggu), unconfident (tidak percaya diri), dan bad suspicion (berprasangka buruk). Penyebab tersebut dapat muncul secara tidak disadari dalam proses pembelajaran dan lingkungan. Pembelajaran bahasa harus mampu berperan mengatasinya.
Materi metafora dan bahasa ungkap karikatur politik merupakan materi autentik yang sangat relevan dengan pembelajaran bahasa berbasis karakter secara holistik dan terintegrasi. Pada pengamatan metafora yang digunakan di media massa, pembelajar akan memahami bentuk-bentuk metafora dan penggunaannya dalam kalimat karena telah gamblang dideskripsikan dalam fakta “Kasus Gayus”. Mengungkap fakta dengan realita sosial dalam wujud keterampilan berbahasa bersumber materi media massa seperti dalam uraian di atas yaitu memberikan kritik, persetujuan, dan dukungan; mendiskusikan masalah aktual; menjelaskan secara lisan; dan membedakan fakta dan opini membutuhkan konsep investigasi. Guru berperan sebagai fasilitator yang membuat mereka menghindari penyebab mental block. Kondisi tersebut membuat siswa tidak hanya melakukan pembenaran (justified) atau beralasan (excuse) tentang suatu kasus tanpa memperhatikan konteks realita. Di dalamnya, pemahaman metafora dan bahasa ungkap karikatur politik dapat dijadikan materi yang membuat mereka memahami bagaimana suatu makna dalam tuturan muncul dalam bahasa.
Demikian pula dalam karikatur. Melalui karikatur pertama  misalnya, siswa belajar untuk jujur dan tidak mudah beralasan untuk menghindari tanggung jawab. Dari karikatur kedua, siswa akan belajar untuk berbicara secara bertanggung jawab, cermat, serta berhati-hati mengemban amanah terutama yang terkait dengan dana (uang). Dalam karikatur ketiga, pembelajar akan lebih berhati-hati dalam menyikapi sesuatu yang berlabel ilmiah dan berbasis sains dengan pembuktian ilmiah. Hal tersebut menghasilkan karakter yang teliti dan cermat.
Karakteristik kalimat dalam karikatur ialah (1) sarat akan implikasi pragmatik. Kondisi tersebut menuntut kita memahami konteks atau realita yang melatarbelakanginya. Dengan peduli terhadap peristiwa sosial dan melakukan klarifikasi yang tepat, kita akan memahami karikatur tersebut dengan baik; (2) bersumber naratif yang memediasi pembicaraan. Jika dijadikan sebagai materi pembelajaran tentu akan menarik; (3) menampung opini publik. Karikatur disusun berdasarkan opini publik yang berkembang di masyarakat. Oleh karenanya, penyusunan karikatur bersumber pada pandangan apa yang berlaku umum di masyarakat. Tampaknya, dalam karakteristik yang ketiga, kita tidak perlu membicarakan sikap dan argumentasi kita, tetapi cukup dengan menyatakan bahwa hal tersebut (kalimat dalam karikatur) merupakan pandangan masyarakat. Dengan demikian, munculnya karikatur merupakan pendukung konsep bahwa bahasa merupakan wujud cara pandang dan nilai budaya masyarakatnya. Lebih detail lagi, bahasa merupakan penunjuk karakter bangsa. Mengamati uraian tersebut, tepatlah jika metafora dan karikatur politik merupakan alternatif yang baik sebagai materi pembelajaran bahasa dalam konsep pendidikan karakter di era ini.  
Metafora adalah bentuk perbandingan langsung karena secara implisit tidak menggunakan kata pembanding misalnya seperti, ibarat, umpama.  Keraf (1981:124) membagi metafora menjadi dua yaitu metafora hidup dan metafora mati. Metafora hidup merupakan metafora yang kuat menyatakan efektivitasnya, sedangkan metafora mati tidak mampu lagi menyatakan perbandingan, contohnya menarik hati, tumbuh, berkembang. Berikut contoh metafora hidup yang diambil dari rubrik “editorial”.
(1)   Parpol dibentuk untuk menjadi kendaraan guna menyeleksi kader pemimpin. Kenyataannya parpol menjadi perahu sewaaan pemimpinnya untuk menanggung uang para kandidat kepala daerah dan juga kuda tunggangan pemimpin untuk memuaskan syahwat politik menjadi presiden.
(2)   Parpol tidak bisa cuci tangan atas kondisi darurat koprupsi kepala daerah.
(3)   Fakta itu amat memprihatinkan di tengah-tengah cuap-cuap elite politik bangsa ini menjadikan korupsi sebagai musuh utama.
(4)   Guru dan siswa bermufakat jahat jahat untuk berbuat curang saat UN berlangsung.
(5)   Pemimpin TNI dan Polri selalu memamerkan keakraban dan kebersamaan, tetapi di lapisan bawah di tingkat prajurit tersimpan bara.
(6)   TNI dan Polri yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom, kerap berubah menjadi pemantik petaka.
(7)   Drama gegap gempita kasus korupsi Wisma Atlet Palembang berakhir antiklimaks.

Metafotra tersebut merupakan metafora yang hidup karena memiliki kisahan yang perlu dipahami oleh pembaca atau penyimak.  Data metafora nomor 1, 2, 3 tersebut misalnya dilatarbelakangi oleh kasus industri pilkada. Disebut industri karena tampak mencari keuntungan dari pemilihan tersebut yang berdampak pada korupsi. Situasi darurat korupsi mengacu kepada banyaknya korupsi setelah pemilihan kepala daerah. Menurut catatan selama delapan tahun terakhir sudah 173 kepala daerah terjerat koprupsi dan 70% di anataranya berstatus terpidana. Itu artinya setiap tahun ada 21 kepala daerah atau setiap bulan ada 2 kepala daerah menjalani pemerikasaan entah dengan kasus sebagai saksi entah tersangka, atau terdakwa.
Data nomor 4 dilatarbelakangi oleh fakta kecurangan dalam ujian nasional yang dilakukan oleh guru dan siswa. Bahkan, guru dan siswa sempat melakukan peziarahan untuk meminta doa agar lulus UN. Itu merupakan hal yang tidak logis. Karena cara yang tidak logis tersebut, cara curang pun mereka lakukan dengan kesepakatan bersama. Hal tersebut bertentangan dengan pembelajaran karakter dalam tujuan pendidikan yang mulia.
Data metafora nomor 5 dan 6 muncul sebagai refleksi pada ketidakrukunan dua institusi pemegang senajata api. Keduanya, akhir-akhir ini kerap melakukan baku tembak yang menelan korban. Oleh karena itu metafora bara dan pemantik  digunakan untuk mengeksplisitkan peristiwa yang terjadi di antara keduanya. Pemahman awal tentang peristiwa dan verba di dalamnya sangat menentukan pemahaman makna metafora tersebut.
Metafora pada data 7 merupakan gambaran ketidakpuasan terhadap putusan yang “tampak tidak setimpal” dengan akibat dari perbuatan tindakan korupsi yang dialakukan Nazaruddin. Metafora drama gegap gempita  merupakan perlambangan betapa antusiasnya kasus korupsi wisma atlet selama pencarian Nazaruddin. Metafora tersebut merupakan paradoks karena akhirnya berakhir antiklimaks.
Kedua bentuk metafora yang dicontohkan di atas (matafora mati dan hidup) merupakan metafora sempit. Metafora luas dapat diamati pada alegori, parable, dan fabel  (Keraf, 1981). Untuk memahami makna metafora dan bahasa ungkap perlu pemahaman terhadap peristiwa yang melatarbelakangi. Hal tersebut akan membuat kita memahami ketepatan makna metafora dan akhirnya dapat memberikan ulasan dalam bentuk dukungan dan komentar sesuai SK dan KD yang terdapat di dalam RPP.  Metafora sempit terbatas pada penggunaan struktur berupa kata, frase, atau kalimat sedangkan metafora luas berupa cerita atau struktur yang lebih luas dari kalimat.
C.     Penutup
Metafora dan bahasa ungkap karikatur politik merupakan alternatif materi dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Keduanya merupakan sumber belajar berbasis pendidikan karakter. Karakter yang dapat dioptimalkan ialah karakter peka dan kritis terhadap lingkungan sekitar. Kedua materi tersebut merupakan pijakan guru dan dosen untuk menghindari rendahnya kekritisan  siswa (masayarakat) dalam memahami pesan-pesan metaforis dan makna bahasa ungkap kartikatur yang oleh Wahab (2001:5) kondisi rendahnya kekritisan terhadap makna-dalam tersebut ditengarai sebagai pragmatic aphasia yakni lemahnya atau bahkan tidak berfungsinya kemampuan menyerasikan bahasa dalam berkomunikasi, menggunakan aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar biasa yang memberikan sumbangan pada makna ujar. Di samping itu, kondisi tersebut juga ditandai dengan tidak dipahaminya pertuturan dan konteks makna dalam tuturan atau ungkapan. Dalam kondisi itu, manusia akan tidak peka terhadap makna yang diimplikasikan, mengesampingkan kesantunan, dan tidak tanggap terhadap makna yang tersirat. Akibatnya, akan banyak informasi yang dimaknai dengan tidak tepat. Menurut Nuriyah (2000:10) semua itu terjadi karena struktur metaforis dari sumbernya dimaknakan secara literal atau harfiah yang akhirnya impilkasinya meluas ke berbagai aspek kehidupan.
Membangun kekritisan dalam pembelajaran dengan kedua materi tersebut dapat ditempuh pula dengan menganalisis efektif atau tidaknya metafora dalam menciptakan pemahaman umum (common ground) di antara pewarta (wartawan, redaktur, penulis, dan pengiklan) dengan masyarakat. Akankah metafora dan karikatur politik sudah membangun aspirasi yang tepat. Seperti yang kita ketahui, terdapat makna-makna yang akan efektif jika dipresentasikan dengan metafora dan bahasa ungkap karikatur dan dan ada pula yang sebaliknya. Kondisi ini dapat diamati dan dianalisis dalam tinajauan sosiopragmatik.
Pembelajaran karakter pada intinya upaya menyiapkan siswa dan mahasiswa untuk menghindari mental block. Salah satu indikasi terjadinya mental block  ialah kurang peduli dan kurang kritisnya masayarakat terhadap fenomena di sekitarnya. Dengan memberikan ruang untuk kreatif melalui materi autentik yang perlu klarifikasi secara ilmiah akan membuat pembelajaran lebih menyenangkan. Secara tidak langsung, keterampilan sosiopragmatik akan terealisasi dalam proses pembelajaran empat keterampilan berbahasa yang akan mendorong siswa pada sikap kritis dan berusaha peka pada kondisi di sekitarnya. Jika kita gambarkan upaya pembelajaran dengan kedua materi tersebut tampak dalam komponen berikut,
Dari konsep tersebut dapat kita ketahui bahwa ketidakkritisan dan ketidakpekaan pada kondisi sosial akan menyebabkan mental block yang menunjukkan lemahnya fungsi pembelajaran bahasa. Solusinya ialah menemukan alternatif pemecahan masalah dengan materi autentik yang memuat pendidikan karakter. Materi tersebut ialah matefora dan bahasa ungkap karikatur politik .
Aspek kebahasaan yang tertuang dalam pembelajaran tersebut ialah sosiopragmatik yang secara langsung membahas komponen makna dalam tuturan dan konteks yang melatarbelaknginya. Dalam aplikasinya dituntut pula kemampuan pembelajar sebagai fasilitator dalam menjelaskan ketepatan makna metaforis dan bahasa ungkap dalam materi autentik tersebut. keterampilan yang didukung dalam pembelajaran ini ialah materi yang memungkinkan pembelajar menggunakan materi dari media massa (termasuk media on line) seperti  memberikan kritik terhadap informasi dari media cetak/elektronik, memberikan persetujuan atau dukungan terhadap informasi dari media cetak atau elektronik, menjelaskan secara lisan uraian topik tertentu dari mebaca artikel atau buku.
Dalam pembelajaran yang menggunakan bahan metafora, sebaiknya digunakan metafora hidup untuk mengungkap makna yang lebih luas dan melatih siswa mengembangkan dalam keterampilan produktif berbahasa. Metafora yang hidup akan memberikan kesempatan pada siswa untuk menganalisis kesesuaian makna implisitnya, menganalisis secara pragmatik daya yang ditimbulkannya, dan memahami konteks yang mendukung kemunculannya. Demikian pula dalam menjadikan bahasa ungkap karikatur politik sebagai materi pembelajaran, sebaiknya dipilih karikatur politik yang dapat diungkap dengan baik . Karikatur yang berdampak positif tentu merupakan pertimbangan yang utama . Di samping itu, isi informasi karikatur merupakan pertimbangan relevansi karikatur dengan kompetensi dasar.
Persiapan yang perlu dilakukan pengajar untuk menyajikan metafora dan bahasa ungkap karikatur politik sebagai materi atau media pembelajaran ialah, (1) menganalisis kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran, (2) memilih metafora atau karikatur politik sesuai tujuan atau indikator, (3) menganalisis makna lelsikal metafora, (4) menemukan latar belakang munculnya metafora dan karikatur politik dan mengaitkannya dengan fenomena yang melatar belakanginya (5) menyajikan dengan metode pembelajaran yang sesuai, (6) meminta siswa mengembangkan pemahaman makna metafora dan bahasa ungkap karikatur politik sesuai dengan standar kompetensi. Tampak, pengajar harus menyiapkan analisis sebelum pembelajaran dimulai termasuk menemukan nilai karakter yang muncul dalam materi tersebut. Namun, dengan keseriusan tersebut prngajar akan mendapatkan hasil yang maksimal.  












































Daftar Pustaka
Keraf, Gorys. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Ende-Flores: Nusa Indah
Nababan, Sri Utari Subyato. 1992. Psikolinguistik: Suatu pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Tama
Nuriyah, Shinta. 1995. Pemahaman Agama yang Keliru Timbulkan Penderitaan Perempuan. Dalam Kompas 29 Juli 2000. Hal 10
Sutrisno, Endro. 2002. “Penggunaan Metafora dalam Media Massa Nasional dan Daerah: Kajian Sosiopragmatik”. Tesis Pascasrjana Unesa
Wahab,
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2011. Semantik: Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka


2.      Biodata Penulis

Penulis bernama lengkap Rusdhianti Wuryaningrum, lahir di Banyuwangi, tanggal 6 Mei 1978. Sekarang tinggal di Perumahan Taman Bambu Blok EE 12, Jember. Telpon rumah (0331) 334407, Ponsel: 081330753089. Alamat e-mail penulis: dhian.ningrum@yahoo.co.id atau bisa juga ke rusdhianti.unej@gmail.com. Blog bisa diakses di rusdhiantiunej.blogspot.com. Sehari-hari penulis mengajar di Universitas Jember, FKIP, tepatnya di Prodi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mata kualiah yang diampu ialah (1) Linguistik Umum, (2) Media Pembelajaran, (3) Telaah dan Pengembangan Kurikulum, (4) Pembelajaran BIPA, dan (5) Fonologi.  Di samping itu, penulis juga aktif mengajar mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia (BIPA) di UPT Bahasa universitas Jember.  Berikut ini uraian instansi, pendidikan, dan minat penelitian penulis.

a.       Institusi
: Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP, Universitas jember
b.      Pendidikan
: S1 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unesa (S.Pd.)
   S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra, Prodi Pascasarjana, Unesa (M.Pd.)

c.       Minat Penelitian
: Penelitian bidang kebahasaan (sosiolinguistik)  dan pembelajaran bahasa dan sastra, dan Pembelajaran BIPA.

Penelitian yang dihasilkan penulis yakni :
(1)   Tuturan Imajinatif dalam Artikel Psikologi Mingguan Kompas 1998
(2)   Tesis dengan judul “Ekspresi Emotif dalam Dialek Osing: Analisis Genderlek”,
(3)   Penelitian Didanai DIA Bermutu 2010 berjudul “Eksplorasi Tuturan Imajinatif untuk Meningkatkan Keterampilan Bercerita Siswa SD”,
(4)    Habituasi Bahasa Indonesia di SD Berbasis Bahasa Madura untuk Meningkatkan Keterampilan Bercerita, tahun 2009, Prodi pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, FKIP, Unej.
Artikel yang disajikan dalam seminar nasional antaralain:
(1)   Kesantnan Konsultatif Menggali keindonesiaan (Seminar Chairil Anwar, Fak. Sastra, Unej, tahun 2011)
(2)   Pemahaman Leksikon Emosi dalam Pembelajaran BIPA (Seminar Nasional Universitas Muhammadiyah Malang, tahun 2011)