PEMANFAATAN METAFORA DAN BAHASA
UNGKAP KARIKATUR POLITIK
DI MEDIA MASSA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
SEBAGAI UPAYA PREVENTIF MENTAL BLOCK
Oleh: Rusdhianti Wuryaningrum
Abstrak
Metafora
dan karikatur politik merupakan dua aspek yang menggunakan bahasa untuk tujuan
khusus. Metafora yang digunakan dalam media massa atau dalam komunikasi
sehari-hari bertujuan menimbulkan efek khusus yang mengarah pada nilai emotif.
Di samping itu, karikatur politik yang marak digunakan di media massa memiliki
peran yang cukup besar sebagai sumber informasi dan kontrol sosial. Mengungkap bahasa pada karikatur akan
meningkatkan keterampilan berbahasa. Memahami matafora pun akan meningkatkan
kemampuan analogi dan kritis dari segi performansi. Oleh karena itu, keduanya
merupakan materi alternatif yang baik karena bersifat autentik dan sarat akan
muatan pragmatis.
Pembelajaran
berbasis karakter yang kini dilaksanakan dalam era pendidikan kita merupakan
langkah maju untuk menyiapkan kualitas unggul calon pemimpin bangsa di masa depan.
Pembelajaran karakter merupakan penghancur mental
block. Jika tidak ditanggulangi, mental
block dapat mengakut dalam kehidupan
generasi penerus. Oleh karena itu, perlu upaya preventif. Berdasarkan uraian
tersebut, makalah ini akan menyajikan rumusan persoalan sebagai berikut, (1)
peran metafora dan bahasa ungkap sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia,
dan (2) pengemasan materi metafora dan bahasa ungkap karikatur politik sebagai
materi pembelajaran terkait upaya preventif
mental block.
Pembelajaran
berbasis karakter yang tepat ialah pembelajaran yang holistik dan terintegrasi
dalam tiap mata pelajaran. Oleh karena itu, diperlukan materi yang cukup
menunjang agar pembelajaran berjalan fungsional. Metafora dan bahasa ungkap
karikatur politik di media massa
merupakan materi yang fungsional sebagai agen pembelajaran kompetensi dan
performansi bahasa. Di samping itu, melalui metafora dan bahasa ungkap
karikatur politik, pembelajar akan belajar mengenal mental block dan efeknya. Untuk selanjutnya, mereka akan paham
pentingnya memiliki karakter positif dalam kehidupan mereka. Secara alami
mereka akan memiliki keterampilan berbahasa dan memiliki karakter yang
terhindar dari mental block.
Kata kunci :
metafora, bahasa ungkap karikatur politik, mental
block
Abstract
Metaphor and politic caricature are two aspects
which carry two languages for specific purposes. Metaphor used in mass media or
daily conversation has purpose to arise specific impact that leads to an
emotive value. And also Politic caricature which is always implemented in mass
media has great enough role of benefit as information source and social
control. To discuss a language on the caricature, will enhance the analogy and critical
ability from performance side. Therefore, both of them are well alternative
material because they have authentic and complex pragmatic value.
Character-based
education, which has been implemented in our education era, is as step forward
to prepare the leader of nation with superior quality in the future. Character
learning is a destroyer of mental block. If there is no prevention, mental
block will be able to carry on the next generation living. Therefore, it needs
the preventive action. Based on the above statements, this paper will present
the problem formulas, such as: (1) metaphor role and language expression as
Indonesian learning (2) metaphor material packaging and language expression of
politic caricature as material learning related with how to prevent mental
block.
Effective
character-based education is learning by holistic and integrated in every
lesson. Therefore, it is required the sufficient material to support learning
so that it can run functionally. Metaphor and language expression of politic
caricature in mass media are functional material and they have role as
competency learning agent and language performance. Moreover, through metaphor
and expression language of politic caricature, the learners will study to know
the mental block and its impact. For further, the learners will understand how important
to have positive character in their living. Naturally, they will possess
language skill and character that stay away from mental block.
Key words: metaphor,
language expression of politic caricature, mental block
A.
Pendahuluan
Pembelajaran bahasa Indonesia
seperti yang tertera dalam dalam KTSP bahasa Indonesia baik di SMP maupun di SMA
mengarah pada aspek keterampilan berbahasa yang dikaitkan dengan penggunaan
bahasa untuk berbagai keperluan di masa sekarang dan yang akan datang. Sumber
belajar yang dianjurkan pun beragam. Sumber belajar tersebut diupayakan sumber
belajar yang autentik untuk mengotekstualkan proses pembelajaran bahasa
Indonesia. Konstribusi pembelajaran bahasa Indonesia bagi kehidupan siswa di
masa yang akan datang merupakan pertimbangan yang perlu dipikirkan dalam
penyusunan materi.
Mengamati kondisi tersebut,
perubahan positif ke arah pembelajaran inovatif bukan hanya pada masalah
pendekatan, metode, dan teknik yang akan diterapkan, melainkan juga pada
penentuan sumber belajar dan materi yang akan disajikan dalam proses pembelaran
tersebut. Metode atau teknik pembelajaran berkaitan dengan cara atau prosedur
penyajian, sedangkan materi atau kemasan materi terkait dengan sumber informasi
dalam pembelajaran yang akan membuka wawasan siswa untuk mencapai kompetensi
dasar yang telah dipilih. Oleh karenanya, pembelajar bahasa harus
mempertimbangkannya materi sesuai peruntukannya.
Tujuan besar pembelajaran bahasa
Indonesia ialah membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi. Kemampuan
berkomunikasi tersebut, tentu saja tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai
bentuk performansi kaidah, tetapi juga sebagai wujud pemahaman makna dan
konteksnya. Seperti yang dinyatakan Nababan (1992: 124), komunikasi bukanlah
sekadar pengoperasian struktur leksikal dan gramatikal, melainkan yang lebih urgen
ialah pengoperasian struktur sematis.
Dengan demikian, pemahaman makna sebagai “wujud nonfisik” tuturan
merupakan komponen yang perlu
diperhatikan dalam pembelajaran bahasa. Seperti yang dikatakan Wijana dan
Rohmadi (2011:3) unsur internal bahasa ialah wujud fisik dan nonfisik bahasa.
Dalam mengajarkan wujud nonfisik bahasa dibutuhkan pembelajaran komunikatif
yang bersumber dari kompleksitas penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Media massa merupakan sumber belajar yang sarat akan kompleksitas tersebut.
Keterampilan berbahasa siswa
tidak hanya bertumpu pada komponen pembelajaran yang telah diuraikan, menurut
Sutrisno (2002: 2) evaluasi dan kritik pada masalah internal seperti metode,
media, materi, evaluasi atau proses mengajar bukanlah satu-satunya yang perlu
diperhatikan. Komponen tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi berada di tengah
berjalan bersama faktor-faktor eksternal seperti dinamika sosial masyarakat,
akulturasi, perkembangan iptek, dan sebagainya yang berfungsi sebagai pajanan
(eksposur) dengan pengaruh besar pada pembelajaran bahasa. Fenomena sosiopragmatik
yang mengemuka dalam beberapa penelitian (termasuk penelitian Sutrisno, 2002)
tentang pemahaman aspek sosiopragmatik masyrakat Indonesia ialah, (1)
perbendaharaan ungkapan metaforis siswa SMU miskin, dan (2) telah timbul gejala
penumpulan ketajaman kesantunan berbahasa yang akan berimpilkasi pada perilaku
sosial. Masalah tersebut juga dapat kita
cermati pada karikatur politik Indonesia. Kemampuan siswa dalam memahami
metafora erat pula dengan kemampuannya mengungkap bahasa karikatur politik.
Pemahaman makna karikatur politik akan membuat mereka peka terhadap aspek
pragmatik berbahasa yang akan mendukung pembentukan karakter yang positif. Jika
diperluas, pemahaman makna karikatur politik akan membuat mereka paham akan
peristiwa sosial di sekitar mereka yang akhirnya akan mendukung keterampilan
berbahasa.
Metafora dan karikatur politik
merupakan materi autentik pembelajaran bahasa Indonesia yang paling dekat
dengan kehidupan siswa karena bisa ditemui surat kabar atau media on line. Surat kabar sebagai bentuk efek
kehidupan global merupakan cermin pemakaian bahasa masyarakat yang tidak akan
habis kita kaji. Melalui berita,
artikel, editorial, dan opini dalam surat kabar dan media elektronik pembelajar dapat
memperoleh bahan materi untuk disajikan di kelas. Dalam silabus pun disebutkan surat kabar
merupakan sumber belajar. Kita dapat mengamatinya pada draf berikut,
Pemanfaatan informasi dari media cetak dan
elektronik muncul dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang akan mengarahkan
pengajar untuk senantiasa mencermati hal apakah yang dapat dikaji sebagai bahan
pembelajaran bahasa Indonesia dalam keempat keterampilan tersebut.
Kreativitas
manusia dalam keterampilan berbahasa akan cepat berkembang sejalan dengan
pencapaiannya memahami bahasa secara harfiah. Hal tersebut tidak akan tercapai
tanpa pembelajaran bahasa secara fungsional yang mempertimbangkan aspek
sosiolinguistik dan pragmatik. Metafora dan bahasa dalam karikatur politik
merupakan bahan untuk memahami kedua hal tersebut. Pembahasan tersebut akan
bermanfaat memberikan gambaran pada pembelajar bahasa (guru dan dosen) untuk
mempertimbangkan metafora dan karikatur politik sebagai cermin kehidupan sosial
yang terus hidup dan memberikan nilai makna dalam bahasa untuk meningkatkan
keterampilan berkomunikasi.
Penelitian terkait bidang pembelajaran yang
menggunakan objek bahasa ungkap karikatur belum ditemukan. Penelitian terkait
objek bahasa ungkap karikatur ialah penelitian Basnendar, dari ISI. Penelitian
tersebut berjudul “Bahasa Ungkap Karikatur Politik Indonesia Tahun 1965” dan
penelitian yang melibatkan karikatur lainnya ialah penelitian dengan judul “Karikatur sebagai Karya Komunikasi Visual
dalam penyampaian Kritik Sosial”, ditulis oleh Heru Dwi Waluyanto, Dosen
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni, dan Desain: UK Petra.
Penelitian tersebut dimuat dalam bentuk artikel dalam Jurnal Nirmana, volume 2, No 2, Juli 2000:
128—134. Penelitian lain terkait metafora beragam, salah satunya yang relevan
dengan peneltian ini ialah penelitian Endro Sutrisno (Tesis Unesa) yang
berjudul “Penggunaan metafora dalam Media Massa Nasional dan Daerah: Kajian
Sosiopragmatik.
Permasalahan
yang perlu dipecahkan sebagai upaya pemanfaatan metafora dan bahasa ungkap
karikatur politik ialah (1) peran metafora dan bahasa ungkap sebagai materi
pembelajaran bahasa Indonesia, dan (2) pengemasan materi metafora dan bahasa
ungkap karikatur politik sebagai materi pembelajaran terkait upaya
preventif mental block. Pembahasan berikut merupakan pembahasan terbuka yang
dapat dikembangkan dalam praktik pembelajaran.
B.
Pembahasan
1.
Metafora
di Media Massa dan Bahasa Ungkap karikatur Politik
Pembelajaran
keterampilan berbahasa atau kebahasaan dan kesastraan dapat menjadikan metafora
dan bahasa ungkap karikatur politik sebagai materi dan media dalam
pembelajaran. Untuk menganalisis pragmatik misalnya, dosen dapat menggunakannya
sebagai bahan kajian bagi mahasiswa. Demikian pula, dalam pembelajaran keterampilan
berbahasa di SMP maupun SMA, matafora dan bahasa ungkap karikatur politik dapat
dijadikan sebagai materi dan media pembelajaran untuk memberikan tanggapan,
menyatakan persetujuan dan dukungan, mendiskusikan masalah aktual, menjelaskan
secara lisan pokok-pokok masalah dalam artikel, termasuk membedakan fakta dan
opini. Sebagai materi dan media
pembelajaran, metafora dan karikatur politik sarat akan informasi yang dapat
dideskripsikan atau menjadi inspirasi bagi ide kreatif pembelajar.
Pada
sisi lain, pembelajaran yang bersumber pada keterampilan berkomunikasi secara
kontekstual dan ranah makna yang luas akan mengurangi hambatan pengungkapan ide
yang sempit. Di dalam materi tersebut siswa atau mahasiswa akan dituntut untuk
menggunakan bahasa secara pragmatis dengan menghubungkan komponen permasalahan
yang mereka baca atau mereka simak. Singkatnya, pemahaman metafora dan bahasa
ungkap karikatur politik akan membuat mereka lebih sensitif dalam memahami
tuturan pun dalam memproduksi tuturan. Dalam sebuah visinya, Wahab (2001) menyatakan bahwa pada suatu sisi
ditengarai akan terjadi distorsi perkembangan bahasa Indonesia dengan
peningkatan kata-kata kasar dan sadis di media massa, berkurangnya ungkapan
bernuansa kebajikan, memudarnya ungkapan bernuansa budaya dan lingkungan. Di samping itu, pemhaman metafora siswa SMA
atau perguruan tinggi tingkat awal (Sutrisno, 2001) kurang baik. mereka
cenderung memaknakan ungkapan metaforis secara literal sehingga muncul distorsi pesan.
Kridalaksana (1993:81) menjelaskan, implikasi
pragmatik merupakan apa yang secara logis merupakan kesimpulan ujaran serta
latar belakang apa yang diketahui bersama oleh kedua pihak dalam konteks
tertentu. Belajar memahami metafora dan bahasa ungkap berarti belajar memahami
konteks tuturan. Dengan memahami konteks, kita dapat membuat praduga dan
mengungkap implikasi pragmatik atas apa yang dituturkan dalam konteks
perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa menentukan perkembangan budaya
masyarakat penggunanya. Sutrisno (2001) menyatakan bahasa yang digunakan oleh
suatu bangsa memengaruhi cara bangsa itu memandang dunianya.
Konsep
metafora sebagai perbandingan langsung dua hal. Keraf (1981:124) mendefinisikan
metafora sebagai perbandingan langsung antara dua hal. Hal tersebut dapat
diamati pada kalimat berikut,
(1) Jika Gayus mau mengatakan, kejahatan pajak akan
terungkap.
(2) Jika Gayus mau menyanyi, kejahatan pajak akan
terungkap.
Dalam
kalimat (1) tidak terdapat metafora yang menguatkan makna kalimat. Sedangkan, dalam kalimat (2) terdapat metafora menyanyi . Kata mengatakan
masih membutuhkan objek sebenarnya dan perlu dijelaskan lagi maknanya
karena tidak lagi ‘bernilai’ kontekstual. Kata menyanyi memiliki ‘nilai’ kontekstual yang harus dipahami petutur
maknanya. Kata tersebut tidak membutuhkan objek yang berarti seseorang harus
tahu latar belakang berita tersebut sehingga mampu memaknai kata menyanyi dengan baik.
Demikian
pula pada bahasa ungkap karikatur politik, konteks berperan penting. Gambar dengan
bantuan bahasa verbal mengacu pada sebuah wacana luas jika petutur mampu
menangkap implikasi tuturan tersebut. Dapat diamati pada contoh berikut:
Gambar
1: Karikatur politik koruptor
Pada
gambar 1 terdapat sindiran kepada terdakwa kasus korupsi. Timbul opini di
masyarakat bahwa bisanya, mereka enggan
diperiksa. Alasan yang mereka katakan adalah sakit. Oleh karena itu, dalam
gambar ditampilkan salah seorang koruptor yang sakit dengan kompres di
dahinya. Gambar tersebut memiliki makna
yang luas dan dapat dikembangkan karena akan membuka uraian terkait masalah
yang dibahas. Singkatnya, pemahaman terhadap konteks akan memengaruhi kualitas
pemahaman metafora dan bahasa ungkap dalam karikatur politik.
Gambar
2: Karikatur politik Pak Susno Duadji
Dalam
karikatur tersebut, tampak adanya dorongan yang mengarah pada tuntutan kepada
Pak Susno agar segera membuktikan kebenaran yang dikatakannya terkait dugaan
korupsi dana pengamanan pilkada Jawa Barat. Pak Susno divonis 3,5 tahun oleh
pengadilan Tinggi DKI denda 2,2 M bulan subsider 4 bulan. Pak Susno akhir-akir
ini berupaya meluruskan kasus korupsi dengan pernyataan-pernyataan ekstremnya.
Oleh karena itu, dalam karikatur muncul kalimat Berantas Korupsi yang
dikatakan Pak Susno.
Karikatur 3: Karikatur Blue Energy
Karikatur
ketiga tersebut memberikan pembelajaran fenomena penggantian BBM dengan energi alternatif
yang sekarang marak dilakukan. Dalam karikatur tersebut, Pak SBY menyatakan cape deh, sebagai ekspresi lelahnya pada kerumitan upaya mengganti
BBM. Seperti yang kita ketahui kini, banyak pemikiran energi alternatif yang
dilontarkan oleh beberapa pihak, tetapi tidak melalui pemikiran kritis dan
penelitian ilmiah. Efeknya, penemuan tersebut kurang bisa
dipertanggungjawabkan, bahkan hanya menjadi penemuan sesaat yang tidak bisa
diterapkan.
Hal
tersebut mengundang ungkap keprihatinan Ketua Jurusan Teknik Elektro UGM, Dr
Ir Tumiran yang mengaku prihatin dengan maraknya penemuan bahan bakar
alternatif karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Apalagi, penemuan
tersebut telah menyesatkan masyarakat dan pemerintah yang menganggap bahan
bakar air kini sudah bisa dimanfaatkan sebagai pengganti BBM. Menurut pak
Tumiran, Jepang yang teknologinya sudah canggih dan kekurangan sumber energi
belum bisa mengubah air menjadi sumber energi. Bahkan pakar mereka
memprediksikan dibutuhkan puluhan tahun lagi untuk menjadikan air sebagai
sumber energi (BBM),” kata Tumiran kepada wartawan, Selasa (27/5 2011) di ruang
Fortakgama UGM (dikutip di harian nasional). Diakui Tumiran, dirinya belum
mengakui sepenuhnya penemuan 'blue energy'
oleh Joko Suprapto yang bisa mengubah air menjadi bahan bakar minyak pengganti
bensin. Alasan yang dikemukakan Tumiran, penemuan Joko tidak bisa dibuktikan
secara ilmiah. Menurutnya, setiap hasil penelitian yang sifatnya ilmiah harus
dibuktikan secara ilmiah. Keprihatinan Tumiran selaku ilmuwan
UGM ini pun semakin bertambah dengan adanya perhatian khusus dari Presiden SBY
terhadap penemuan 'blue energy' tersebut pada November 2007 silam. Namun bersamaan
dengan terbongkarnya kebohongan di balik penemuan tersebut, kata pak Tumiran,
hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah seolah tidak memercayai hasil
kajian dari lembaga penelitian seperti LIPI, BPPT, dan Perguruan Tinggi.
Menurut beliau ini hal yang memalukan karena presiden kita lebih memercayai
hal-hal seperti ini dan tidak pernah memanfaatkan lembaga keilmuan seperti
LIPI, BPPT dan Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, muncullah katikatur yang
menggambarkan kelelahan dan (sedikit) kejengkelan Presiden SBY terhadap kasus blue nergy sebab perhatian dan upaya yang dilakukan belum mendapat
hasil.
1.2 Pembelajaran Metafora dan Karikatur
Politik sebagai Upaya Prevetif Mental
Block
Mental Block merupakan sikap negatif yang
dihasilkan dari pemikiran-pemikiran yang negatif. Zubaedi (2011:69) menyatakan mental block adalah cara berpikir dan
perasaan yang terhalangi oleh ilusi-ilusi yang membuat kita terhambat untuk
melangkah menuju kesuksesan. Gejala awal mental
block ialah suka mengeluh, malas, tidak mau berubah, dan tidak mau ambil
risiko atau tidak mau bertanggung jawab, termasuk tidak peduli (tidak acuh)
pada kondisi sosial dan selalu berpikir instan tanpa proses yang mendewasakan.
Kondisi tersebut dapat diperbaiki dengan pemahaman berkomunikasi dengan
pendekatan pragmatik (linguistic
fungsional) untuk meningkatkan perbendaharaan metaforis dan sensitivitas
sosial dalam wujud tuturan yang akhirnya akan meningkatkan kesantunan.
Beberapa
penyebab penyakit mental block, menurut
Zubaedi (2011:70) ialah bad self-image
(citra diri buruk), bad experience
(pengalaman buruk), bad reference (rujukan
buruk), bad environment (lingkungan
buruk) dan bad education (pendidikan
buruk). Sedangnkan virus-virus perusak penyebab mental block ialah blame
(menyalahkan), justified (pembenaran),
excuse (beralasan), prestige (gengsi), lazy (malas), afraid
(takut), waiting (menunggu), unconfident (tidak percaya diri), dan bad suspicion (berprasangka buruk). Penyebab
tersebut dapat muncul secara tidak disadari dalam proses pembelajaran dan
lingkungan. Pembelajaran bahasa harus mampu berperan mengatasinya.
Materi
metafora dan bahasa ungkap karikatur politik merupakan materi autentik yang
sangat relevan dengan pembelajaran bahasa berbasis karakter secara holistik dan
terintegrasi. Pada pengamatan metafora yang digunakan di media massa,
pembelajar akan memahami bentuk-bentuk metafora dan penggunaannya dalam kalimat
karena telah gamblang dideskripsikan dalam fakta “Kasus Gayus”. Mengungkap
fakta dengan realita sosial dalam wujud keterampilan berbahasa bersumber materi
media massa seperti dalam uraian di atas yaitu memberikan kritik, persetujuan,
dan dukungan; mendiskusikan masalah aktual; menjelaskan secara lisan; dan membedakan
fakta dan opini membutuhkan konsep investigasi. Guru berperan sebagai
fasilitator yang membuat mereka menghindari penyebab mental block. Kondisi tersebut membuat siswa tidak hanya melakukan
pembenaran (justified) atau beralasan
(excuse) tentang suatu kasus tanpa
memperhatikan konteks realita. Di dalamnya, pemahaman metafora dan bahasa
ungkap karikatur politik dapat dijadikan materi yang membuat mereka memahami
bagaimana suatu makna dalam tuturan muncul dalam bahasa.
Demikian
pula dalam karikatur. Melalui karikatur pertama
misalnya, siswa belajar untuk jujur dan tidak mudah beralasan untuk
menghindari tanggung jawab. Dari karikatur kedua, siswa akan belajar untuk
berbicara secara bertanggung jawab, cermat, serta berhati-hati mengemban amanah
terutama yang terkait dengan dana (uang). Dalam karikatur ketiga, pembelajar
akan lebih berhati-hati dalam menyikapi sesuatu yang berlabel ilmiah dan
berbasis sains dengan pembuktian ilmiah. Hal tersebut menghasilkan karakter
yang teliti dan cermat.
Karakteristik
kalimat dalam karikatur ialah (1) sarat akan implikasi pragmatik. Kondisi
tersebut menuntut kita memahami konteks atau realita yang melatarbelakanginya.
Dengan peduli terhadap peristiwa sosial dan melakukan klarifikasi yang tepat,
kita akan memahami karikatur tersebut dengan baik; (2) bersumber naratif yang
memediasi pembicaraan. Jika dijadikan sebagai materi pembelajaran tentu akan
menarik; (3) menampung opini publik. Karikatur disusun berdasarkan opini publik
yang berkembang di masyarakat. Oleh karenanya, penyusunan karikatur bersumber
pada pandangan apa yang berlaku umum di masyarakat. Tampaknya, dalam
karakteristik yang ketiga, kita tidak perlu membicarakan sikap dan argumentasi
kita, tetapi cukup dengan menyatakan bahwa hal tersebut (kalimat dalam
karikatur) merupakan pandangan masyarakat. Dengan demikian, munculnya karikatur
merupakan pendukung konsep bahwa bahasa merupakan wujud cara pandang dan nilai
budaya masyarakatnya. Lebih detail lagi, bahasa merupakan penunjuk karakter
bangsa. Mengamati uraian tersebut, tepatlah jika metafora dan karikatur politik
merupakan alternatif yang baik sebagai materi pembelajaran bahasa dalam konsep
pendidikan karakter di era ini.
Metafora
adalah bentuk perbandingan langsung karena secara implisit tidak menggunakan
kata pembanding misalnya seperti, ibarat, umpama. Keraf (1981:124) membagi metafora menjadi dua
yaitu metafora hidup dan metafora mati. Metafora hidup merupakan metafora yang
kuat menyatakan efektivitasnya, sedangkan metafora mati tidak mampu lagi
menyatakan perbandingan, contohnya menarik
hati, tumbuh, berkembang. Berikut contoh metafora hidup yang diambil dari
rubrik “editorial”.
(1)
Parpol
dibentuk untuk menjadi kendaraan guna
menyeleksi kader pemimpin. Kenyataannya parpol menjadi perahu sewaaan pemimpinnya untuk menanggung uang para kandidat
kepala daerah dan juga kuda tunggangan pemimpin
untuk memuaskan syahwat politik
menjadi presiden.
(2)
Parpol
tidak bisa cuci tangan atas kondisi darurat koprupsi kepala daerah.
(3)
Fakta
itu amat memprihatinkan di tengah-tengah cuap-cuap
elite politik bangsa ini menjadikan korupsi sebagai musuh utama.
(4)
Guru
dan siswa bermufakat jahat jahat
untuk berbuat curang saat UN berlangsung.
(5)
Pemimpin
TNI dan Polri selalu memamerkan keakraban dan kebersamaan, tetapi di lapisan
bawah di tingkat prajurit tersimpan bara.
(6)
TNI
dan Polri yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom, kerap berubah menjadi
pemantik petaka.
(7)
Drama gegap gempita kasus korupsi Wisma Atlet
Palembang berakhir antiklimaks.
Metafotra
tersebut merupakan metafora yang hidup karena memiliki kisahan yang perlu
dipahami oleh pembaca atau penyimak.
Data metafora nomor 1, 2, 3 tersebut misalnya dilatarbelakangi oleh kasus
industri pilkada. Disebut industri karena tampak mencari keuntungan dari
pemilihan tersebut yang berdampak pada korupsi. Situasi darurat korupsi mengacu
kepada banyaknya korupsi setelah pemilihan kepala daerah. Menurut catatan
selama delapan tahun terakhir sudah 173 kepala daerah terjerat koprupsi dan 70%
di anataranya berstatus terpidana. Itu artinya setiap tahun ada 21 kepala
daerah atau setiap bulan ada 2 kepala daerah menjalani pemerikasaan entah dengan
kasus sebagai saksi entah tersangka, atau terdakwa.
Data
nomor 4 dilatarbelakangi oleh fakta kecurangan dalam ujian nasional yang
dilakukan oleh guru dan siswa. Bahkan, guru dan siswa sempat melakukan
peziarahan untuk meminta doa agar lulus UN. Itu merupakan hal yang tidak logis.
Karena cara yang tidak logis tersebut, cara curang pun mereka lakukan dengan
kesepakatan bersama. Hal tersebut bertentangan dengan pembelajaran karakter dalam
tujuan pendidikan yang mulia.
Data
metafora nomor 5 dan 6 muncul sebagai refleksi pada ketidakrukunan dua
institusi pemegang senajata api. Keduanya, akhir-akhir ini kerap melakukan baku
tembak yang menelan korban. Oleh karena itu metafora bara dan pemantik digunakan untuk mengeksplisitkan peristiwa
yang terjadi di antara keduanya. Pemahman awal tentang peristiwa dan verba di
dalamnya sangat menentukan pemahaman makna metafora tersebut.
Metafora
pada data 7 merupakan gambaran ketidakpuasan terhadap putusan yang “tampak
tidak setimpal” dengan akibat dari perbuatan tindakan korupsi yang dialakukan
Nazaruddin. Metafora drama gegap gempita merupakan perlambangan betapa antusiasnya
kasus korupsi wisma atlet selama pencarian Nazaruddin. Metafora tersebut
merupakan paradoks karena akhirnya berakhir antiklimaks.
Kedua
bentuk metafora yang dicontohkan di atas (matafora mati dan hidup) merupakan
metafora sempit. Metafora luas dapat diamati pada alegori, parable, dan
fabel (Keraf, 1981). Untuk memahami
makna metafora dan bahasa ungkap perlu pemahaman terhadap peristiwa yang
melatarbelakangi. Hal tersebut akan membuat kita memahami ketepatan makna
metafora dan akhirnya dapat memberikan ulasan dalam bentuk dukungan dan
komentar sesuai SK dan KD yang terdapat di dalam RPP. Metafora sempit terbatas pada penggunaan
struktur berupa kata, frase, atau kalimat sedangkan metafora luas berupa cerita
atau struktur yang lebih luas dari kalimat.
C.
Penutup
Metafora
dan bahasa ungkap karikatur politik merupakan alternatif materi dalam
pembelajaran bahasa Indonesia. Keduanya merupakan sumber belajar berbasis
pendidikan karakter. Karakter yang dapat dioptimalkan ialah karakter peka dan
kritis terhadap lingkungan sekitar. Kedua materi tersebut merupakan pijakan
guru dan dosen untuk menghindari rendahnya kekritisan siswa (masayarakat) dalam memahami
pesan-pesan metaforis dan makna bahasa ungkap kartikatur yang oleh Wahab (2001:5)
kondisi rendahnya kekritisan terhadap makna-dalam tersebut ditengarai sebagai pragmatic aphasia yakni lemahnya atau
bahkan tidak berfungsinya kemampuan menyerasikan bahasa dalam berkomunikasi,
menggunakan aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar biasa yang
memberikan sumbangan pada makna ujar. Di samping itu, kondisi tersebut juga
ditandai dengan tidak dipahaminya pertuturan dan konteks makna dalam tuturan
atau ungkapan. Dalam kondisi itu, manusia akan tidak peka terhadap makna yang
diimplikasikan, mengesampingkan kesantunan, dan tidak tanggap terhadap makna
yang tersirat. Akibatnya, akan banyak informasi yang dimaknai dengan tidak
tepat. Menurut Nuriyah (2000:10) semua itu terjadi karena struktur metaforis
dari sumbernya dimaknakan secara literal atau harfiah yang akhirnya impilkasinya
meluas ke berbagai aspek kehidupan.
Membangun
kekritisan dalam pembelajaran dengan kedua materi tersebut dapat ditempuh pula
dengan menganalisis efektif atau tidaknya metafora dalam menciptakan pemahaman
umum (common ground) di antara
pewarta (wartawan, redaktur, penulis, dan pengiklan) dengan masyarakat. Akankah
metafora dan karikatur politik sudah membangun aspirasi yang tepat. Seperti
yang kita ketahui, terdapat makna-makna yang akan efektif jika dipresentasikan
dengan metafora dan bahasa ungkap karikatur dan dan ada pula yang sebaliknya.
Kondisi ini dapat diamati dan dianalisis dalam tinajauan sosiopragmatik.
Pembelajaran
karakter pada intinya upaya menyiapkan siswa dan mahasiswa untuk menghindari mental block. Salah satu indikasi
terjadinya mental block ialah kurang peduli dan kurang kritisnya
masayarakat terhadap fenomena di sekitarnya. Dengan memberikan ruang untuk
kreatif melalui materi autentik yang perlu klarifikasi secara ilmiah akan
membuat pembelajaran lebih menyenangkan. Secara tidak langsung, keterampilan
sosiopragmatik akan terealisasi dalam proses pembelajaran empat keterampilan
berbahasa yang akan mendorong siswa pada sikap kritis dan berusaha peka pada
kondisi di sekitarnya. Jika kita gambarkan upaya pembelajaran dengan kedua
materi tersebut tampak dalam komponen berikut,
Dari
konsep tersebut dapat kita ketahui bahwa ketidakkritisan dan ketidakpekaan pada
kondisi sosial akan menyebabkan mental
block yang menunjukkan lemahnya fungsi pembelajaran bahasa. Solusinya ialah
menemukan alternatif pemecahan masalah dengan materi autentik yang memuat
pendidikan karakter. Materi tersebut ialah matefora dan bahasa ungkap karikatur
politik .
Aspek
kebahasaan yang tertuang dalam pembelajaran tersebut ialah sosiopragmatik yang
secara langsung membahas komponen makna dalam tuturan dan konteks yang
melatarbelaknginya. Dalam aplikasinya dituntut pula kemampuan pembelajar
sebagai fasilitator dalam menjelaskan ketepatan makna metaforis dan bahasa
ungkap dalam materi autentik tersebut. keterampilan yang didukung dalam
pembelajaran ini ialah materi yang memungkinkan pembelajar menggunakan materi
dari media massa (termasuk media on line)
seperti memberikan kritik terhadap
informasi dari media cetak/elektronik, memberikan persetujuan atau dukungan
terhadap informasi dari media cetak atau elektronik, menjelaskan secara lisan
uraian topik tertentu dari mebaca artikel atau buku.
Dalam
pembelajaran yang menggunakan bahan metafora, sebaiknya digunakan metafora
hidup untuk mengungkap makna yang lebih luas dan melatih siswa mengembangkan
dalam keterampilan produktif berbahasa. Metafora yang hidup akan memberikan
kesempatan pada siswa untuk menganalisis kesesuaian makna implisitnya,
menganalisis secara pragmatik daya yang ditimbulkannya, dan memahami konteks
yang mendukung kemunculannya. Demikian pula dalam menjadikan bahasa ungkap
karikatur politik sebagai materi pembelajaran, sebaiknya dipilih karikatur
politik yang dapat diungkap dengan baik . Karikatur yang berdampak positif
tentu merupakan pertimbangan yang utama . Di samping itu, isi informasi
karikatur merupakan pertimbangan relevansi karikatur dengan kompetensi dasar.
Persiapan
yang perlu dilakukan pengajar untuk menyajikan metafora dan bahasa ungkap
karikatur politik sebagai materi atau media pembelajaran ialah, (1)
menganalisis kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran, (2) memilih metafora
atau karikatur politik sesuai tujuan atau indikator, (3) menganalisis makna
lelsikal metafora, (4) menemukan latar belakang munculnya metafora dan
karikatur politik dan mengaitkannya dengan fenomena yang melatar belakanginya
(5) menyajikan dengan metode pembelajaran yang sesuai, (6) meminta siswa
mengembangkan pemahaman makna metafora dan bahasa ungkap karikatur politik
sesuai dengan standar kompetensi. Tampak, pengajar harus menyiapkan analisis
sebelum pembelajaran dimulai termasuk menemukan nilai karakter yang muncul
dalam materi tersebut. Namun, dengan keseriusan tersebut prngajar akan
mendapatkan hasil yang maksimal.
Daftar Pustaka
Keraf, Gorys. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Ende-Flores: Nusa
Indah
Nababan, Sri Utari Subyato. 1992.
Psikolinguistik: Suatu pengantar.
Jakarta: Gramedia Pustaka Tama
Nuriyah, Shinta. 1995. Pemahaman Agama yang Keliru Timbulkan
Penderitaan Perempuan. Dalam Kompas 29 Juli 2000. Hal 10
Sutrisno, Endro. 2002.
“Penggunaan Metafora dalam Media Massa Nasional dan Daerah: Kajian
Sosiopragmatik”. Tesis Pascasrjana Unesa
Wahab,
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad
Rohmadi. 2011. Semantik: Teori dan Analisis.
Surakarta: Yuma Pustaka
2.
Biodata
Penulis
Penulis
bernama lengkap Rusdhianti Wuryaningrum, lahir di Banyuwangi, tanggal 6 Mei
1978. Sekarang tinggal di Perumahan Taman Bambu Blok EE 12, Jember. Telpon
rumah (0331) 334407, Ponsel: 081330753089. Alamat e-mail penulis: dhian.ningrum@yahoo.co.id atau bisa juga ke rusdhianti.unej@gmail.com. Blog bisa diakses di
rusdhiantiunej.blogspot.com. Sehari-hari penulis mengajar di Universitas
Jember, FKIP, tepatnya di Prodi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mata
kualiah yang diampu ialah (1) Linguistik Umum, (2) Media Pembelajaran, (3)
Telaah dan Pengembangan Kurikulum, (4) Pembelajaran BIPA, dan (5)
Fonologi. Di samping itu, penulis juga
aktif mengajar mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia (BIPA) di UPT
Bahasa universitas Jember. Berikut ini
uraian instansi, pendidikan, dan minat penelitian penulis.
a.
Institusi
|
:
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Seni, FKIP, Universitas jember
|
b.
Pendidikan
|
: S1
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unesa (S.Pd.)
S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra, Prodi
Pascasarjana, Unesa (M.Pd.)
|
c.
Minat
Penelitian
|
:
Penelitian bidang kebahasaan (sosiolinguistik) dan pembelajaran bahasa dan sastra, dan
Pembelajaran BIPA.
|
Penelitian
yang dihasilkan penulis yakni :
(1)
Tuturan
Imajinatif dalam Artikel Psikologi Mingguan Kompas
1998
(2)
Tesis
dengan judul “Ekspresi Emotif dalam Dialek Osing: Analisis Genderlek”,
(3)
Penelitian
Didanai DIA Bermutu 2010 berjudul “Eksplorasi Tuturan Imajinatif untuk
Meningkatkan Keterampilan Bercerita Siswa SD”,
(4)
Habituasi Bahasa Indonesia di SD Berbasis
Bahasa Madura untuk Meningkatkan Keterampilan Bercerita, tahun 2009, Prodi
pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, FKIP, Unej.
Artikel
yang disajikan dalam seminar nasional antaralain:
(1)
Kesantnan
Konsultatif Menggali keindonesiaan (Seminar Chairil Anwar, Fak. Sastra, Unej,
tahun 2011)
(2)
Pemahaman
Leksikon Emosi dalam Pembelajaran BIPA (Seminar Nasional Universitas
Muhammadiyah Malang, tahun 2011)