Jumat, 23 Desember 2011

Eksplorasi Tuturan Imajinatif untuk Meningkatkan Kemampuan Bercerita



A.    Judul Penelitian
Eksplorasi Tuturan Imajinatif  untuk Meningkatkan Keterampilan Bercerita
Siswa SD
B.     Latar Belakang Masalah
Kurikulum nasional untuk mata ajar Bahasa dan Sastra Indonesia menjelaskan bahwa pada hakikatnya pembelajaran bahasa adalah belajar berkomunikasi dan belajar sastra adalah memahami manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Inilah yang menjadi landasan penentuan materi pembelajaran dan pendekatannya.  Demikian pula pada orientasi empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis hakikat pembelajaran tersebut harus terintegrasi dengan baik.
Berbicara  merupakan salah satu komponen dalam keterempilan berbahasa yang sangat penting.  Secara teoretis, berbicara merupakan suatu proses penyampaian informasi, ide, atau gagasan dari pembicara kepada pendengar. Si pembicara berdudukan sebagai komunikator sedangkan pendengar sebagai komunikan. Informasi yang disampaikan secara lisan dapat diterima oleh pendengar apabila pembicara mampu menyampaikannya dengan baik dan benar. Dengan demikian, kemampuan berbicara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kemahiran seseorang dalam penyampaian informasi secara lisan.
Menurut Nuraeni (2002), banyak orang beranggapan berbicara adalah suatu pekerjaan yang mudah dan tidak perlu dipelajari. Untuk situasi yang tidak resmi barangkali anggapan ini ada benarnya namun pada situasi resmi pernyataan tersebut tidak berlaku. Kenyataannya, tidak semua siswa berani dan mau berbicara di depan kelas sebab mereka umumnya kurang terampil sebagai akibat dari kurangnya latihan berbicara. Untuk itu, guru bahasa Indonesia harus melatih siswa untuk berbicara. Latihan pertama kali yang perlu dilakukan guru ialah menumbuhkan keberanian siswa untuk berbicara.
Bercerita, sebagai salah satu komponen kemampuan berbicara kurang mendapat perhatian. Kegiatan belajar mengajar di kelas kurang memberikan kesempatan dan pelatihan untuk mengembangkan kreativitas anak dalam bercerita. Di sisi lain, kemampuan menceritakan kembali cerita (retelling story) yang diperdengarkan atau dibaca  merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menunjukkan sejauh mana tingkat penguasaan anak terhadap suatu materi simakan atau bacaan dan sejauh mana tingkat kesulitan sebuah wacana.
Di sisi lain, pembelajaran bercerita akan memberikan lahan bagi peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan apresiasinya. Hal ini penting sekali mengingat kemampuan menyampaikan informasi dengan baik merupakan salah satu indikator kemampuan anak-anak dalam berkomunikasi sebagai landasan pembelajaran bahasa yang telah disebutkan dalam kurikulum.
Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan diketahui bahwa kemampuan berbicara siswa dalam proses pembelajaran masih rendah. Hal ini diketahui pada saat siswa menyampaikan pesan/informasi yang bersumber dari media dengan bahasa yang runtut, baik, dan benar. Isi pembicaraan yang disampaikan oleh siswa tersebut kurang jelas. Siswa berbicara tersendat-sendat sehingga isi pembicaraan menjadi tidak jelas. Ada pula di antara siswa yang tidak mau berbicara di depan kelas. Selain itu, pada saat guru bertanya kepada seluruh siswa, umumnya siswa lama sekali untuk menjawab pertanyaan guru. Beberapa orang siswa ada yang  tidak mau menjawab pertanyaan guru karena takut jawabannya itu salah. Apalagi untuk berbicara di depan kelas, para siswa belum menunjukkan keberanian.
Oleh sebab itu, diperlukan suatu cara untuk meningkatkan kemampuan berbicara. Cara tersebut hendaknya menyenangkan dan mudah dipahami oleh siswa. Salah satu caranya ialah meminta anak-anak untuk bercerita dalam bahasanya sendiri. Dengan jalan ini, anak-anak berkesempatan mengembangkan kreativitasnya mengolah bahasanya, menentukan sendiri ekspresi yang akan dipilihnya, dan memainkan mimik sesuai apresiasinya.
Dalam pembelajaran tersebut, peserta didik harus diberi saluran bereksplorasi dalam bercerita. Bereksplorasi bermakna menggali, menemukan, dan mendeteksi cara bercerita melalui pemahaman isi cerita. Upaya ini membuat peserta didik lebih nyaman bercerita di depan kelas sebab mampu mengembangkan ekspresi dan kreativitasnya.
Salah satu aspek yang paling penting dalam bercerita ialah kemampuan mengelola kalimat agar kalimat tersebut memiliki daya cerita atau mampu menggambarkan isi dongeng atau cerita dengan baik. Andi Y.A dalam blog WordPress.com menyatakan bahwa improvisasi sangat penting dalam bercerita. Improvisasi dapat dilakukan dengan mimik dan tekanan suara serta tuturan imajinatif yang mampu menguatkan deskripsi dalam bercerita.
Tuturan imajinatif bermakana tuturan yang mampu menjembatani isi pesan sehingga lebih mudah ditangkap, memiliki nilai estetika, meluaskan penggambaran sehingga memberikan suasana pelibatan emosi pada mitra tutur (KBBI, 1999). Keterampilan bercerita sebagai salah satu komponen keterampilan berbicara memiliki kekhasan. Kekhasan tersebut harus dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas penceritaan. Salah satu tekniknya adalah dengan menggunakan tuturan imajinatif sebagai bentuk ekspresi dalam bercerita.
Tuturan imajinatif harus dipahamkan kepada siswa sebagai bentuk ekspresi dalam bercerita  yang akan mendukung keberhasilannya. Namun, bukan berarti guru harus menentukan  tuturan imajinatif yang harus dipakai dan siswa menerima begitu saja. Jika hal tersebut kita lakukan, siswa tidak akan kreatif  karena cenderung bergantung pada ide guru. Oleh sebab itu, dalam penelitian yang berjudul Eksplorasi Tuturan Imajinatif untuk Meningkatkan Keterampilan Bercerita Siswa SD ini akan dijelaskan bagaimana cara mengembangkan kreativitas siswa dalam menggunakan tuturan imajinatif dalam bercerita.
C.     Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan masalah dalam penelitian ini.
(1)   Bagaimana cara pembelajaran bercerita dengan eksplorasi tuturan imajinatif pada siswa SD?
(2)   Apakah penggunaan eksplorasi tuturan imajinatif dapat meningkatkan keterampilan bercerita siswa SD?
D.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan,

(1)   mengetahui cara pembelajaran bercerita dengan eksplorasi tuturan imajinatif pada siswa SD,
(2)   mengetahui apakah penggunaan eksplorasi tuturan imajinatif dapat meningkatkan keterampilan bercerita siswa SD.







E.     Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pada ilmu pendidikan, guru, siswa, dan peneliti lain baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu,
(1)   menambah khasanah metode pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran berbicara (bercerita);
(2)   menjelaskan hal-hal spesifik dalam teori pembelajaran berbicara yang selama ini masih belum terdeskripsi dengan baik.
Disamping manfaat teoretis, terdapat pula manfaat praktis, yaitu,
(1)   memberikan alternatif metode pembelajaran pada guru sebagai upaya menyelesaikan masalah pembelajaran berbicara (bercerita);
(2)   meningkatkan kreativitas dan pengetahuan siswa dalam berbicara (bercerita)
(3)   memberikan gambaran khusus pembelajaran berbicara (bercerita) sehingga dapat dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut oleh peneliti lain.
F.     Kajian Teori
1.      Pembelajaran Berbasis Eksplorasi
Soekiman (2008) menyatakan ciri-ciri pembelajaran berbasis eksplorasi ialah (1) melibatkan peserta didik mencari informasi (topik tertentu), (2) menggunakan beragam pendekatan ,media dan sumber belajar,(3) memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik. Dari uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa eksplorasi dalam pembelajaran adalah mengupayakan keterlibatan siswa sebanyak-banyaknya. Bahkan, siswa harus mencari dan menemukan konsep tertentu sehingga ia bebas mengaktualisasikan dirinya. Dalam penelitian ini, siswa diminta untuk terlibat langsung melalui diskusi, tanya jawab, dan menyelesaikan masalah dari masalah cerita yang diperdengarkan atau dibacanya. Tugas siswa ialah menentukan aspek-aspek tuturan emotif yang akan ditampilkannya dalam bercerita.
Dalam bidang pembelajaran sastra, eksplorasi merupakan upaya penemuan atau petualangan yang akan membawa penikmat sastra ke dalam dunia yang belum relatif belum dikenalnya. Eksplorasi membuat mereka semakin kritis. Bahkan, Nurgiyantoro (2005:41) menyatakan bahwa eksplorasi merupakan salah satu nilai pendidikan dalam karya sastra anak. Dijelaskan bahwa ketika membaca cerita, pada hakikatnya anak dibawa pada sebuah eksplorasi, sebuah penjelajahan, sebuah petualangan imajinatif, ke sebuah dunia yang memberikan pengalaman imajinatif, pengalaman batin yang tidak harus dialami secara secara faktual, yang juga sekaligus juga meningkatkan daya imajinasi.
Dengan demikian, mengupayakan peserta didik menemukan, menentukan, dan menyesuaikan komponen-komponen yang terdapat dalam materi. Lebih lanjut, sebuah artikel dalam situs gurupembaharu.com menyatakan  bahwa dalam kegiatan eksplorasi guru melibatkan siswa mencari dan menghimpun informasi, menggunakan media untuk memperkaya pengalaman mengelola informasi, memfasilitasi siswa berinteraksi sehingga siswa aktif, medorong siswa mengamati berbagai gejala, menangkap tanda-tanda yang membedakan dengan gejala pada peristiwa lain, mengamati objek di lapangan dan laboratorium.
Pembelajaran berbasis eksplorasi merupakan salah satu penunjang pembelajaran kreatif dan produktif.  Ditnaga-dikti.org dalam program PKP-4c menjelaskan bahwa pendekatan eksplorasi mensyaratkan keterlibatan peserta didik secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran. Keterlibatan ini difasilitasi melalui pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan penemuan dari konsep bidang ilmu yang sedang dikaji serta menafsirkan hasil ekplorasi tersebut. Peserta didik diberi kebebasan untuk menjelajahi berbagai sumber yang relevan dengan topik/konsep/masalah yang sedang dikaji. Eksplorasi ini akan memungkinkan mereka melakukan interaksi dengan lingkungan dan pengalamannya sendiri, sebagai media untuk mengkonstruksi pengetahuan.
Tujuan pembelajaran berdasarkan pendekatan komunikatif adalah mengembangkan kompetensi komunikatif para pembelajar bahasa yang mencakup kemampuan menafsirkan bentuk-bentuk linguistik, baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun implisit  (Santoso, 2003: 2.32).  Jika diamati, dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan metode eksplorasi dapat menunjang pencapaian tujuan pembelajaran berdasarkan pendekatan komunikatif tersebut.  Dengan demikian, nilai-nilai positif dalam metode eksplorasi sangat berguna jika diterapkan dalam KBM. 
2.      Tuturan Imajinatif
Tuturan, dalam KBBI (1999) adalah sesuatu yang dituturkan, ucapan, ujaran, cerita dan sebagainya. Dapat pula bermakna wacana yang menonjolkan serangkaian peristiwa dalam serentetan waktu tertentu, bersama partisipan dan keadaan tertentu.
Imajinatif dalam KBBI (1999) bermakna mempunyai atau menggunakan daya pikir untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar-gambar (lukisan, karangan, dan sebagainya) kejadian terjadi berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Dapat pula bermakna khayalan.
Dari dua definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa tuturan imajinatif ialah ucapan, ujaran, atau wacana yang mempunyai daya khayal sehingga mampu menciptakan gambaran-gambaran dan menghidupkan kejadian atau peristiwa. Tuturan imajinatif merupakan penguat isi cerita karena memiliki daya bayang yang mampu menjembatani isi cerita dan penyimak. Bentuknya disesuaikan dengan isi cerita, misalnya tiruan suara binatang, suara alam, benda-benda, manusia, berbagai macam gaya tertawa, interjeksi (seruan), deskripsi latar, suasana, dan waktu, berbagai perasaan dan sebagainya. E-edukasi. net  dalam artikel “Menulis Buku Harian Menggunakan Bahasa Ekspresif” menyebutkan bahwa bahasa ekspresif dapat disusun dengan tuturan yang mampu memberi imajinasi (bersifat imajinatif) dengan penggunaan interjeksi. Dijelaskan pula perbandingan kata yang bersifat nonekspresif  (1a) dan ekspresif  (1b)
(1a) Aku memenangkan lomba mendongeng se-Jabodetabek.
(1b) Wah, betapa bahagianya aku saat memenangkan lomba mendongeng se-Jabodetabek.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa kalimat 1b lebih bersifat ekspresif dengan penambahan kata wah dan deskripsi perasaan kata bahagia. Demikian pula dalam bercerita, efek imajinatif dapat ditempuh dengan  berbagai cara, seperti yang terdapat pada kalimat nonimajinatif (2a) dan imajinatif (2b)
(2a) Suara burung berkicau membangunkan kelinci yang sedang tidur.
(2b) cuit, ciit, cit, cit, cuit, suara burung berkicau membangunkan kelinci yang sedang tidur pulas.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa tiruan suara binatang (kicauan burung) digunakan untuk menegaskan gambaran pencerita pada sebuah situasi. Pemakaian kata sifat pulas mendeskripsikan bagaimana keadaan tidurnya kelinci sehingga penyimak akan memiliki gambaran yang utuh. Hal tersebut ditujukan membangun imajinasi penyimak dan dapat memahami isi cerita dengan baik.
Tuturan imajinatif tidak memiliki standar baku karena sangat multiinterpretatif. Yang dapat dilakukan oleh penutur ialah mengreasikannya dengan mencari tuturan imajinatif yang sesuai. Kekayaan penutur akan kosa kata ekspresif, leksikon emosi, dan kemampuan mendeskripsikan sangat menentukan kesesuaian tuturan imajinatif yang akan digunakannya.
Tuturan imajinatif dapat membantu mencapai tujuan bercerita, seperti yang dikatakan Priyono (2006:14), pencerita harus mampu mengantarkan keindahan alam, situasi, sifat, dan lain-lain ke hadapan penyimak. Oleh sebab itu, perlu penunjang pembangunan daya bayang sehingga penyimak dapat memahami. Salah satu caranya dengan pemakaian kata-kata imajinatif.  
Tarigan (1993)  mengutip pendapat Haliday (1979); Brown (1980: 1994-5) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam bercerita harus berfungsi imajinatif. Yang berarti  mampu menciptakan sistem atau gagasan-gagasan imajiner. Dijelaskan bahwa melalui fungsi imajinatif kita bebas menjelajah ke seberang dunia yang nyata, membumbung tinggi ke atas ketinggian keindahan bahasa. Melalui bahasa, kita menciptakan berbagai mimpi yang kadang mustahil dicapai. Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa fungsi imajinatif bahasa harus ditonjolkan dalam bercerita. Oleh karena itu, pemahaman tuturan imajinatif perlu diberikan kepada siswa agar mereka mampu bercerita dengan baik.
3.      Keterampilan Berbicara
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan (Tarigan, 1993 : 15). Ditegaskan pula bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan kepada orang lain. Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa berbicara merupakan keterampilan atau kemampuan untuk menyampaikan pesan berupa pikiran, gagasan, dan perasaan melalui bahasa lisan kepada orang lain.
Berbicara berdasarkan jumlah pendengarnya menurut Santosa (2003: 6.28 – 6.29), berbicara terbagi atas,
(1)   Berbicara antarpribadi,
terdapat pada pembicaraan yang serius atau santai bergantung pada apa yang dibicarakan.
(2)   Berbicara dalam kelompok kecil,
pembicaraan seperti ini terjadi antara pembicara dengan sekelompok kecil ngar (3 – 5 orang). Dalam kegiatan pembelajaran, kelompok kecil secara lisan, terutama untuk melatih siswa yang jarang berbicara. Suasana
dalam kelompok kecil lebih memungkinkan siswa berani berbicara.
(3)   Berbicara dalam kelompok besar,
pendengar berkesempatan untuk bertanya atau berkomentar tentang isi.  Jenis berbicara seperti ini terjadi bila pembicara menghadapi pendengar yang berjumlah besar. Jika jenis berbicara seperti ini terjadi di ruang kelas, pendengar berkesempatan untuk bertanya atau berkomentar isi pembicaraan yang disampaikan pembicara.
Keterampilan berbicara bersifat produktif, langsung, dan ekspresif. Anak-anak lebih dahulu mampu menyimak sebelum mampu berbicara. Perkembanagn kosa kata anak dalam berbicara diperoleh dari kegiatan menyimak. Lingkungan berperan penting membentuk kemampuan berbicara anak. Semakin banyak kosa kata yang diserapnya semakin banyak pula kosa kata yang dikuasainya.
Berbicara memiliki hubungan yang erat dengan menyimak. Menurut Brooks (1964:134) dalam Tarigan(1993:4) hal-hal yang dapat menunjukkan hubungan yang erat antara berbicara dan menyimak, ialah
(1)   Ujaran (speech) biasanya dipelajari dari menyimak dan meniru (imitasi). Oleh sebab itu, contoh atau model yang direkam atau disimak oleh anak sangat penting dalam penguasaan kecakapan berbicara.
(2)   Kata-kata yang akan dipakai serta dipelajari sang anak  biasanya ditentukan oleh perangsang (stimuli) yang mereka temui (misalnya kehidupan desa/kota) dan kata-kata yang banyak memberikan bantuan atau pelayanan dalam penyampaian ide atau gagasan.
(3)   Ujaran sang anak mencerminkan pemakaian kosa kata bahasa di rumah dan dalam masyarakat tempat hidupnya, misalnya ucapan, intonasi, kosa kata, pengguanaan kata-kata, pola-pola kalimat dan lain-lainnya.
(4)   Anak yang lebih muda lebih dapat memahami kalimat-kalimat yang jauh lebih panjang dan rumit daripada kalimat-kalimat yang diucapkannya.
(5)   Meningkatkan kemampuan menyimak berarti meningkatkan kualitas berbicaranya.
(6)   Bunyi atau suara merupakan suatu faktor penting dalam meningkatkan cara pemakaian kata-kata sang anak. Oleh karena itu, anak-anak akan tertolong kalau menyimak ujaran-ujaran yang diajarkan guru, rekaman-rekaman yang bermutu, dan cerita-cerita yang bernilai tinggi dan lain-lain.
(7)   Berbicara dengan bantuan alat peraga (visual aids) akan menghasilkan penangkapan informasi yang lebih baik bagi penyimak. Hal ini penting karena anak-anak meniru apa-apa yang didengarnya.
Berbicara erat kaitannnya dengan keterampilan membaca. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan umum berbahasa lisan turut memperlengkapi  pengalaman pembelajaran membaca. Tarigan (1993:5) menyebutkan bahwa hubungan antara keterampilan berbahasa secara lisan dengan membaca dapat diketahui dari hasil penelitian yang menyebutkan,
(1)   Performansi atau penampilan membaca berbeda sekali dengan kecakapan berbahasa lisan.
(2)   Pola-pola ujaran orang yang tuna-aksara mungkin akan mengganggu pelajaran membaca bagi anak-anak.
(3)   Kalau pada tahun-tahun awal belajar di sekolah ujaran membentuk suatu dasar bagi pelajaran membaca maka pada kelas yang lebih tinggi kemampuan membaca turut meningkatkan keterampilan berbicara mereka, misalnya kesadaran linguistik mereka terhadap istilah-istilah baru, struktur kalimat yang baik dan efektif, istilah-istilah baru, struktur kalimat yang baik dan efektif,  serta penggunaan kata-kata yang tepat.
(4)   Kosa kata khusus mengenai bahan bacaan haruslah diajarkan secara langsung. Jika ada kata-kata baru dalam bacaan, maka guru harus segera mendiskusikannya dengan anak-anak di kelasnya.
 Menurut Tarigan (1993:16), pada dasarnya berbicara mempunyai tiga maksud atau tujuan, yaitu (1) memberitahukan atau melaporkan (to inform), (2) menjamu atau menghibur (to entertain), (3) membujuk, mengajak, mendesak, atau meyakinkan (to persuade). Dalam beberapa kondisi, berbicara memiliki gabungan tujuan, misalnya di samping menjamu atau menghibur terdapat tujuan meyakinkan. Pembelajaran bercerita memiliki tujuan menghibur. Oleh sebab itu, Slamet (2007: 124) menyatakan bahwa bercerita harus menggunkan gaya bahasa yang mengandung keindahan. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa bercerita merupakankelompok berbicara estetik (mendongeng). Dalam kegiatan ini guru harus menyiapkan bahan cerita dan mempertimbangkannya berdasarkan beberapa faktor di antaranya usia pembelajar, tema cerita, jumlah pelaku dalam cerita, alur cerita, dan lain-lain.
Yang perlu mendapat perhatian guru ialah bahwa dalam pembelajaran berbahasa (berbicara), ranah fungsi bahasa sangat berperan, guru harus mengarahkan siswa pada ranah tersebut. Haliday (1973) dalam Tarigan (1981) menyatakan ada tujuh jenis fungsi bahasa yaitu, (1) fungsi instrumental: menggerakkan atau memanipulasi lungkungan, membuat orang lain melakukan sesuai isi bahasa; (2) fungsi pengaturan: yang terdapat dalam undang-undang, pengawasan kelakuan, dan lain-lain; (3) fungsi representasional: untuk mengabarkan suatu kondisi realistik yang dialami seseorang; (4) fungsi interaksional: digunakan untuk berinteraksi dengan kelompok sosial untuk menjaga kekompakan dan keharmonisan; (5) fungsi personal: digunakan menyatakan perasaan diri, emosi, kepribadian, dan sebagainya; (6) fungsi heuristik: digunakan untuk memperoleh pengetahuan, biasanya difungsikan oleh anak-anak dengan kata tanya mengapa, apa, bagaimana, dan sebagainya; (7) fungsi imajinatif: digunakan untuk bercerita sehingga membawa penyimak pada dunia yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.
Dari uraian fungsi bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bercerita menempatkan bahasa dalam ranah fungsi imajinatif. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan pemilihan bahasa agar fungsi imajinatifnya terlihat jelas sehingga memiliki daya cerita yang tinggi.
a.      Permasalahan Keterampilan Berbicara di SD
Berbicara merupakan suatu keterampilan. Keterampilan tidak akan berkembang kalau tidak dilatih secara terus menerus. Oleh karena itu, kepandaian berbicara tidak akan dikuasai dengan baik tanpa dilatih. Apabila selalu dilatih, keterampilan berbicara tentu akan semakin baik. Sebaliknya, kalau malu, ragu, atau takut salah dalam berlatih berbicara, niscaya kepandaian atau keterampilan berbicara itu semakin jauh dari penguasaan.
Dalam lingkungan pendidikan, para siswa dituntut terampil berbicara dalam proses pembelajaran. Para siswa harus mampu mengutarakan gagasannya. Mereka juga harus dapat menjawab pertanyaan atau mengajukan pertanyaan pada saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Ketika melaksanakan diskusi,  para siswa dituntut terampil mengemukakan pendapat, menyanggah, atau memengaruhi siswa lain untuk menyetujui pola pikirnya. Siswa SD hanya terampil berbicara bersemuka atau dalam kelompok kecil  dalam suasana yang kurang resmi.
Dalam situasi resmi (di hadapan banyak orang) mereka mengalami banyak kendala. Dalam pembelajaran dapat dipastikan hampir tidak ada siswa yang bertanya. Jika tidak ditunjuk, tidak ada yang  memberikan jawaban. Terlebih dalam menyanggah, berkomentar, mengekspresikan diri dalam bentuk tuturan, siswa mengalami banyak kesulitan. Menurut Priyono (2001:17) siswa tidak berani berbicara karena beberapa hal, antara lain, (1) mengalami ketidakpastian tentang apa yang akan diucapkan dan bagaimana memulainya, (2) cemas menghadapi penilaian, takut dikatakan tolol dan merasa rendah diri, (3) menghadapi situasi yang asing dan ia merasa tidak siap. Dijelaskan pula bahwa penyebab pertama yang sering dialami siswa.
Menghadapi permasalahan psikologis tersebut, guru harus mampu menggunakan metode atau teknik yang dapat mengatasinya. Menurut Subajati (2002 : 26), faktor-faktor yang memengaruhi hasil belajar terdiri dari faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal (dari luar siswa), misalnya bahan ajar, metode yang digunakan guru, media pendidikan yang diterapkan guru, dan situasi lingkungan tempatnya belajar. Sedangkan faktor internal (dari dalam diri siswa), terdiri dari faktor fisik dan psikis. Faktor fisik misalnya, kesehatan badan, kesempurnaan badan; fator psikis misalnya, motivasi, proses berfikir, intelegensi, sikap, perasaan.
Kesulitan siswa dalam belajar berkaiatan dengan penggunaan bahasa terjadi pada masalah pemilihan diskusi, penggunaan struktur kalimat, dan penyampaian pikiran secara runtut. Sedangkan, kesulitan belajar yang bersifat psikologis timbul karena siswa mengalami hambatan berbicara pada situasi formal, misalnya ketika berbicara di depan kelas padahal ketika berbicara dalam situasi tidak formal siswa mampu berbicara dengan jelas. Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan guru ialah memberikan kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk berbicara di depan kelas, mengeksplorasi kemampuan berbahasanya sehingga kata yang dituturkannya disadarinya dengan baik. Sebelum tampil, siswa harus yakin dengan dirinya dengan motivasi dan contoh-contoh yang diberikan guru.
b.      Meningkatkan Keterampilan Berbicara melalui Bercerita Kreatif
Perkembangan keterampilan berbicara pada anak-anak sejalan dengan kemampuannya berpikir. Pada dasarnya mereka mampu menyatakan pesan dengan lengkap meskipun belum dalam kalimat yang sempurna. Sejalan dengan bertambahnya usianya, kemampuan berbicaranya semakin sempurna. Pilihan katanya semakin tepat, struktur kalimatnya menjadi benar, dan kalimatnya lebih bervariasi. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Slamet (2007:122) menyatakan bahawa dalam proses belajar bahasa di sekolah, anak-anak mengembangkan kemampuan berbicaranya secara vertikal tidak horizontal. Oleh sebab itu, perlu upaya untuk mengembangkan secara vertikal keterampilan berbicara anak. 
Ellis dalam Nunan (1991:46) seperti dikutip Slamet (2007:122) menyatakan ada tiga cara untuk mengembangkan secara vertikal kemampuan berbicara anak, yaitu (1) menirukan pembicaraan orang lain (khusus guru); (2) mengembangkan ujaran-ujaran yang dikuasai; dan (3) mendekatkan atau menyejajarkan dua bentuk ujaran, yaitu bentuk ujarannya sendiri yang belum benar dengan ujaran orang dewasa (terutama guru) yang sudah benar.
Upaya meningkatkan kemampuan berbicara ternyata salah satunya, menurut pendapat di atas, dapat ditempuh dengan contoh yang diberikan guru, dan mengembangkan ujaran-ujaran yang dikuasai. Dengan demikian, guru perlu mengajak siswa untuk mengeksplorasi kemampuan bahasanya dengan berbagai ujaran atau tuturan yang sudah dikuasainya. Di samping itu, guru pun harus memberikan kesempatan pada siswa untuk mengukur seberapa baik cara bertutur dengan menampilkan cara berbicara yang baik.
Slamet (2007:123)  mengacu pendapat Tompkins dan Hoskisson (1995: 120—147), mengemukakan berbagai jenis kegiatan dalam proses pembelajaran berbicara, yaitu percakapan, berbicara estetik (mendongeng), berbicara untuk menyampaikan informasi atau memengaruhi, kegiatan dramatik. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa keterampilan bercerita ( mendongeng) merupakan aspek atau komponen proses kreatif dalam berbicara.
Proses pembelajaran berbicara estetis (bercerita/mendongeng) dilakukan dengan penyajian karya sastra kepada anak-anak dengan teknik bercerita kemudian guru meminta siswa bercerita tentang karya sastra yang telah dibaca. Murid-murid bercerita  sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan kepada teman sekelasnya atau kepada anak-anak yang lebih kecil. Dengan cara ini siswa dapat memperhatikan indikator kelebihan dan kekurangannya dalam bercerita. Pemilihan cerita perlu diperhatikan sesuai dengan usia perkembangan siswa, kesederhanaan cerita, tema, dan sebaginya.
4.      Pembelajaran bercerita
Slamet (2007:126) menjelaskan bahwa ketika berperan sebagai pencerita, guru harus memberi kesempatan kepada anak untuk dapat menunjukkan kemampuannya dalam menerjemahkan tulisan ke dalam bahasa lisan yang ekspresif, sebagai ungkapan perasaan dan pikiran. Dengan demikian, diskusi atau pilihan kata yang akan dipakai harus dipertimbangkan apakah tuturan yang diproduksi merupakan tuturan imajinatif atau bukan. Perlu ada hal-hal yang ditekankan dalam bercerita sehingga ekspresi penting yang menentukan isi cerita tersampaikan dan mudah diingat oleh penyimak.
Pada pembelajaran bercerita guru perlu memperhatikan berbagai kondisi untuk menentukan bahan cerita. Nurgiyantoro (2005:61) menyebutkan implikasi pemahaman terhadap proses pemerolehan bahasa anak ditentukan oleh pemilihan buku bacaan sastra. Karya sastra anak karena memberikan konstribusi yang besar bagi nilai personal yakni pada perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, rasa sosial, rasa etis dan religius; bagi nilai pendidikan, karya sastra  menyumbangkan pertumbuhan positif dengan eksplorasi dan penemuan, perkembangan bahasa, nilai keindahan, penanaman wawasan multikultural, dan kebiasaan membaca.
a.      Materi dan Media dalam Pembelajaran Bercerita
Pemilihan bahan bacaan sebagai materi pembelajaran bercerita menentukan keberhasilan peningkatan kemampuan berbahasa anak. Beberapa pakar menyarankan, ada baiknya guru menyeleksi dan memvariasikan bahan cerita untuk anak. Bahan bacaan yang bervariasi akan memberikan lebih banyak pembelajaran.
Pemilihan materi bacaan harus dipilih berdasarkan kriteria yang jelas bukan dari kesubjektivan guru atau sekadar keinginan siswa. Anak-anak usia sekolah belum mampu menimbang bacaan apa yang baik untuknya. Mereka hanya melahap apa yang ada di hadapan mereka. Oleh sebab itu, guru harus memiliki panduan dalam menentukan bacaan yang akan digunakan dalam bercerita agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Berkaiatan dengan pemilihan cerita untuk anak, Slamet (2007:124) menyatakan ada hal penting yang harus diperhatikan guru dalam memilih cerita, yaitu kemenarikan cerita, kesederhanaan cerita, kejelasan alur cerita, kejelasan tema, jumlah pelaku tidak terlalu banyak, penggunaan gaya bahasa perulangan, dan penggunaan bahasa yang mengandung keindahan dalam cerita.
Di samping hal-hal penting tersebut, guru harus lebih memahami dunia  anak-anak dengan memperhatikan usia perkembangan mereka sehingga guru akan tertuntun mencari cerita yang sesuai apakah cerita petualangan, hewan, perjuangan, dan sebagainya. Hal ini penting mengingat penyampaian cerita akan lebih mengena jika mereka menyukai isi cerita. Priyono (2006:24) mendeskripsikan jenis cerita yang sesuai berdasarkan usia perkembangan siswa. Pada usia lima tahun ke bawah, bacaan yang cocok ialah cerita hewan di sekitarnya, seperti ayam, itik, ikan, kodok, dan sebagainya; anak yang berusia 6 s.d 9 tahun dongeng yang sesuai ialah dongeng legenda atau cerita rakyat; anak usia 9 s.d 12 tahun perlu pendekatan yang berbeda. Anak dalam kelompok umur ini mendengarkan, tetapi bersifat kritis. Karena itu, cara mendongeng harus dimulai dengan dialog karena daya nalar mereka sangat peka. Cerita yang paling cocok ialah cerita fiksi ilmiah seperti misteri, detektif cilik, atau perjuangan melawan raksasa atau monster.
 Berkaiatan dengan pemilihan cerita, Nurgiyantoro (2005:48) menjelaskan anak belum dapat memilih bacaan sastra yang baik untuk dirinya sendiri. Anak akan membaca apa saja bacaan yang ditemui peduli cocok atau tidak untuknya karena memang belum tahu. Agar anak memperoleh bacaan yang sesuai dengan perkembangan kediriannya, kita harus peduli dengan bacaan yang dikonsumsikan kepadanya. Hal tersebut mengingatkan guru dan orang tua untuk selektif memilihkan bacaan.
Brady (dalam Saxby & Winch, 1991:26-7) seperti dikutip Nurgiyantoro (2005:49) mengemukakan bahwa terdapat hal-hal tertentu yang menjadi dasar pemikiran dalam pengujian tahapan perkembangan anak, yaitu sebagai berikut. Pertama, pertimbangan ketertarikan anak terhadap suatu bacaan harus dilihat sebagai kriteria seleksi yang lebih penting daripada anggapan kecocokan yang dilakukan oleh kacamata orang dewasa. Kedua, pemahaman terhadap perkembangan anak secara umum dan terhadap tahapan perkembangan secara khusus akan memberikan informasi yang berharga dalam pemilihan bacaan anak. Ketiga, pemahaman terhadap tahapan perkembangan anak akan membantu dalam seleksi bacaan, tetapi itu bukanlah sesuatu yang kaku, bukan sebuah harga mati. Konsep tahapan tersebut mempunyai derajat prediksi dalam suasana budaya yang stabil, tetapi belum memperhitungkan adanya perubahan budaya, waktu, dan geografi, dan karenanya diperlukan penelitian lebih lanjut yang memperhitungkan aspek-aspek itu. Denngan kata lain, sebenarnya masih terdapat problema validitas jika teori tahapan tersebut dijadikan dasar yang “sempurna” dalam seleksi bacaan anak. Keempat, pemahaman kesesuaian dalam pemilihan bacaan dengan tahapan perkembangan anak perlu diperluas dengan mencakup kontribusi tiap tahapan itu.    
1.      Perkembangan Intelektual
Piaget membedakan perkembangan intelektual anak ke dalam empat tahapan. Tiap tahapan mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan tahapan yang lain, dan hal itu berkaitan dengan respon anak terhadap bacaan. Sebagai konsekuensinya hal itupun mempunyai implikasi logis dalam pemilihan bahan bacaan anak. Tahapan perkembangan intelektual yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama:tahap sensori-motor (the sensory-motor period, 0-2 tahun).
Tahap ini merupakan tahapan pertama dalam perkembangan kognitif anak. Tahap ini disebut sebagai tahap sensori-motor karena perkembangan terjadi berdasarkan informasi dari indera (senses) dan bodi (motor). Karakteristik utama dalam tahap ini adalah bahwa anak belajar lewat koordinasi persepsi indera dan aktivitas motor serta mengembangkan pemahaman sebab-akibat atau hubungan-hubungan berdasarkan sesuatu yang dapat diraih atau dapat berkontak langsung.
Kedua: tahap praoperasional (the preoperational period, 2-7 tahun).
Dalam tahap ini anak mulai dapat “mengoperasikan” sesuatu yang mudah mencerminkan aktivitas mental dan tidak lagi semata-mata bersifat fisik. Karakteristik dalam hal ini antara lain adalah bahwa (i) Anak mulai belajar mengaktualisasikan dirinya lewat bahasa, bermain, dan menggambar (corat-coret). (ii) Jalan pikiran anak masih bersifat egosentris, menempatkan dirinya sebagai pusat dunia, yang didasarkan persepsi segera dan pengalaman langsung karena masih kesulitan menempatkan dirinya di antara orang lain. Anak tidak dapat memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain. (iii) Anak mempergunakan simbol dengan cara elementer yang pada awalnya lewat gerakan-gerakan tertentu dan kemudian lewat bahasa dalam pembicaraan.
Ketiga: tahap operasional konkret (the concrete operational, 7-11 tahun).
Pada tahap ini anak mulai dapat memamahami logika secara stabil. Karateristik anak pada tahap ini antara lain adalah (i) anak dapat membuat klasifikasi sederhana, mengklasifikasikan objek berdasakan sifat-sifat umum, misalnya klasifikasi warna, klasifikasi karakter tertentu. (ii) Anak dapat membuat urutan sesuatu secara semestinya, menurutkan abjad, angka, besar kecil, dan lain-lain. (iii) Anak mulai dapat mengembangkan imajinasinya ke masa lalu dan masa depan; adanya perkembangan dari pola berfikir yang egosentris menjadi lebih mudah untuk mengidentifikasikan sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. (iv) Anak mulai dapat berfikir argumentatif dan memecahkan masalah sederhana, kecenderungan memperoleh ide-ide sebagaimana yang dilakukan dewasa, namun belum dapat berfikir tentang sesuatu yang abstrak karena jalan berfikirnya masih terbatas pada situasi yang konkret.
Keempat: tahap operasi formal (the formal operational, 11-12 tahun ke atas).
Pada tahap ini, pada awal adolesen, anak sudah mampu berfikir abstrak. Karakteristik penting dalam tahap ini antara lain adalah (i) anak sudah mampu berfikir “secara ilmiah”, berfikir teoritis, berargumentasi dan menguji hipotensis yang mengutamakan kemampuan berfikir. (ii) Anak sudah mampu memecahkan masalah secara logis dengan melibatkan berbagai masalah yang terkait. Implikasi terhadap pemilihan buku bacaan sastra anak adalah (i) buku-buku bacaan cerita yang menampilkan masalah yanng membawa anak untuk mencari dan menemukan hubungan sebab akibat serta implikasi terhadap karakter tokoh; (ii) buku-buku bacaan cerita yang menampilkan alur cerita ganda, alur cerita yang mengandung plot dan suplot, yang dapat membawa anak untuk memahami hubungan antarsubplot tersebut, serta menampilkan persoalan (atau konflik) dan karakter yang lebih kompleks.
2.      Perkembangan Moral
perubahan-perubahan penilaian moral anak yang dimaksud, antara lain, adalah sebagai berikut
(a)                Penilaian anak terhadap masalah atau tindakan baik dan buruk berdasarkan kemungkinan adanya hukuman dan hadiah yang diperoleh dari dewasa.
(b)               Penilaian tingkah laku dalam kacamata anak kecil hanya dapat dibedakan ke dalam baik dan buruk, tidak ada alternatif lain.
(c)                Penilaian anak kecil terhadap suatu tindakan cenderung didasarkan pada konsekuensi yang terjadi kemudian tanpa memperhatikan pelakunya.
(d)               Pandangan anak kecil terhadap tingkah laku buruk dengan hukuman berjalan bersama, dan semakin besar kesalahan akan semakin berat hukumannya.
3.      Perkembangan Emosional dan Personal
Sebagai seorang manusia di dalam kedirian anak terdapat berbagai aspekyang sama-sama mengalami pertumbuhan dan saling berkaitan satu dengan yang lain. Aspek- aspek yang dimaksud antara lain adalah kognitif, afektif atau respon emosional, hubungan sosial, dan orientasi nilai-nilai, akan sama-sama terlibat dalam peristiwa pembelajaran.        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar